Mantan kepala unit Sandera dan Orang Hilang di Badan Intelijen Israel (Mossad), Rami Igra, menyebut proposal terbaru Israel untuk pertukaran tahanan dengan Hamas sebagai “proposal tersulit yang pernah diajukan”.
Ia menilai, proposal tersebut tidak akan diterima oleh kelompok perlawanan tersebut.
“Pertanyaan terbesar, dan mungkin dari sini kita bisa memahami posisi kita, adalah mengapa Negara Israel mengajukan proposal yang jelas-jelas tidak akan diterima oleh siapa pun,” ujar Igra dalam wawancara dengan Radio 103 FM Israel, Rabu (17/4/2024).
Menurut Igra, proposal tersebut mencakup isu perlucutan senjata dan pengaturan “hari setelah” konflik berakhir.
Padahal, katanya, sejak awal Hamas telah berfokus pada kelangsungan eksistensinya dan tidak akan menyetujui ketentuan seperti itu.
Ia menilai langkah Israel ini lebih berkaitan dengan tekanan politik dalam negeri. “Netanyahu tahu bahwa waktunya hampir habis—bukan untuk para sandera, tetapi untuk dirinya sendiri.
Trump secara jelas menyatakan dalam konferensi pers, di mana Netanyahu tampak ditinggalkan, bahwa perang harus segera diakhiri,” ujarnya.
Igra menambahkan bahwa dinamika regional juga berperan. Trump, katanya, akan segera melakukan kunjungan ke Arab Saudi, yang disebut sedang menyiapkan investasi sebesar 1,3 triliun dolar AS ke Amerika Serikat dan mensyaratkan penyelesaian menuju pembentukan negara Palestina sebagai syarat normalisasi hubungan dengan Israel.
“Dalam konteks ini, jelas bagi Netanyahu bahwa seperti ia dipaksa melaksanakan tahap pertama dari perjanjian gencatan senjata dan pertukaran tahanan, ia juga akan dipaksa menjalankan tahap kedua, yang mencakup solusi Mesir dengan pembentukan komite administratif untuk memerintah Gaza. Kita telah kalah dalam pertempuran ini, dan tidak ada pilihan lain,” kata Igra.
Ia juga menyinggung bahwa situasi ini semakin melibatkan Iran, sementara Netanyahu menggunakan retorika keras seperti “perlucutan ala Libya”, namun menurut Igra, hal itu tidak didengarkan oleh Amerika Serikat.
“Amerika-lah yang memegang keputusan. Trump sibuk dengan banyak agenda dan pada akhirnya ingin meraih Hadiah Nobel Perdamaian serta sukses menormalisasi hubungan dengan Saudi. Di sisi lain, Netanyahu ingin tetap berkuasa, dan itu akan sulit baginya,” kata Igra. Ia menutup dengan menyindir sikap Netanyahu saat meninggalkan Hungaria untuk bertemu Trump: “Ia pergi seperti anak yang baru saja dimarahi.”