Saturday, December 28, 2024
HomeLaporan KhususLAPORAN KHUSUS: Bagaimana Assad khianati staf dan pendukung jelang jatuhnya Damaskus

LAPORAN KHUSUS: Bagaimana Assad khianati staf dan pendukung jelang jatuhnya Damaskus

Presiden Bashar al-Assad, yang telah memerintah dengan tangan besi selama lebih dari dua dekade, melarikan diri dari Suriah pada malam hari.

Ketika pejuang oposisi semakin mendekat ke ibu kota Damaskus pada 7 Desember, staf di Istana Presiden Suriah sebenarnya tengah bersiap mendengarkan pidato yang mereka harapkan dapat membawa akhir damai dari perang yang telah berlangsung selama 13 tahun.

Ajudan Presiden Bashar al-Assad sedang mencari ide untuk menyampaikan pesan ke masyarakat. Kru film telah menyiapkan kamera dan lampu.

Stasiun televisi negara sudah siap untuk menyiarkan hasil rekaman: pidato Assad yang mengumumkan rencananya untuk berbagi kekuasaan dengan anggota kelompok oposisi politik, menurut tiga orang yang terlibat dalam persiapan tersebut seperti tertuang dalam liputan investigasi New York Times.

Bekerja dari istana, Assad tidak menunjukkan tanda-tanda panik kepada stafnya. Pertahanan ibu kota telah diperkuat, termasuk oleh Divisi Lapis Baja ke-4 Angkatan Darat Suriah yang kuat, yang dipimpin oleh saudara presiden, Maher al-Assad, kata seorang sumber di Istana Assad.

Namun, semuanya ternyata hanyalah sebuah kebohongan.

Setelah gelap, sang presiden diam-diam meninggalkan ibu kota, terbang secara rahasia menuju pangkalan militer Rusia di Suriah utara dan kemudian naik pesawat jet Rusia menuju Moskow, menurut enam pejabat pemerintah dan keamanan di Timur Tengah.

Maher al-Assad melarikan diri secara terpisah malam itu. Dia pergi bersama sejumlah pejabat militer senior lainnya, melintasi gurun menuju Irak, menurut dua pejabat Irak.

Lokasi terakhirnya masih belum diketahui hingga saat ini.

Bashar al-Assad meninggalkan Suriah secara diam-diam sehingga beberapa ajudannya masih menunggunya di istana berjam-jam setelah dia pergi, menunggu pidato yang tidak kunjung disampaikan.

Setelah tengah malam, kabar bahwa Assad telah pergi sampai juga ke telinga mereka, dan mereka melarikan diri dengan panik, meninggalkan gerbang istana terbuka lebar untuk oposisi yang akan menyerbu beberapa jam kemudian.

Jatuhnya Bashar al-Assad mengakhiri cengkeraman otoriter dinasti Assad selama 50 tahun di Suriah, memicu kegembiraan di kalangan korban dan musuh-musuhnya, mengguncang peta strategis Timur Tengah, serta membuka jalan bagi masa depan Suriah.

Selama hari-hari terakhirnya berkuasa, Assad memohon bantuan militer dari Rusia, Iran, dan Irak, namun tidak ada yang merespons.

Badan intelijen militer Suriah bahkan mencatat kehancuran pasukannya secara real-time, menurut laporan rahasia yang diperoleh New York Times.

Diplomat dari enam negara berusaha mendorong Assad mundur secara damai untuk menghindari pertempuran berdarah di Damaskus. Salah satu usulannya adalah agar ia menyerahkan kekuasaan kepada kepala militernya dan menerima kudeta.

Kisah kejatuhan Assad, yang sebagian besar belum terungkap sebelumnya, disusun New York Times berdasarkan wawancara dengan pejabat dari Suriah, Iran, Irak, dan Turki; diplomat yang berbasis di Damaskus; serta rekan-rekan Assad dan oposisi yang terlibat dalam penggulingannya.

Banyak dari mereka berbicara dengan anonim, demi alasan protokol diplomatik atau karena takut pembalasan dari sisa-sisa rezim atau oposisi yang menggulingkannya.

Warga Suriah yang tetap setia kepadanya selama perang merasa marah, karena ia melarikan diri tanpa sepatah kata pun, meninggalkan mereka dengan nasib yang tak pasti.

“Untuk keselamatan pribadi Anda, Anda mengorbankan semua orang?” kata seorang sumber yang bekerja di istana dan hampir lolos sebelum oposisi datang.

Bersembunyi jauh dari Damaskus yang kini dikuasai oposisi, ia masih kesulitan menerima kenyataan atas kaburnya Assad secara mendadak.

“Itu adalah pengkhianatan yang tak bisa saya percayai,” ujarnya.

Saat Aleppo jatuh

Saat oposisi menggempur pasukan Assad, sang presiden justru berada di luar negeri untuk menghadiri acara keluarga. Anak laki-laki tertuanya, Hafez al-Assad, tengah mempertahankan disertasinya di Universitas Negeri Moskow.

Di auditorium besar yang terletak di sebuah bukit yang menghadap ibu kota Rusia, hadir istri Assad, Asma al-Assad.

Disertasi yang berjudul “Arithmetic Questions of Polynomials in Algebraic Number Fields” ini mungkin tidak akan menarik banyak pembaca, tetapi memiliki dedikasi yang unik sebagaimana ditulis sang anak: “Untuk para syuhada Angkatan Darat Suriah Arab, tanpa pengorbanan mereka yang tulus, kita semua tidak akan ada.”

Bashar al-Assad juga berada di Moskow, meskipun ia tidak menghadiri sidang disertasi anaknya tersebut.

Sementara itu, di Suriah, pasukan yang selama ini dipuji sebagai pahlawan oleh anaknya sedang runtuh di hadapan oposisi.

Selama 13 tahun, Assad terlibat dalam peperangan melawan kelompok bersenjata yang berusaha menggulingkannya. Perang ini telah menghancurkan negara, menewaskan lebih dari setengah juta orang, dan menciptakan jutaan pengungsi.

Iran dan sekutunya, kelompok militan Hizbullah dari Lebanon, telah mendukung pasukannya, sementara Rusia mengirimkan jet tempur yang menghancurkan basis oposisi.

Pada sekitar tahun 2020, perang ini tampaknya memasuki masa stagnasi. Ekonomi Suriah hancur, dan sebagian besar wilayahnya berada di luar kendali Assad.

Meski demikian, ia tetap berkuasa dan berusaha mengurangi statusnya sebagai paria internasional.

“Hidup berjalan normal, dan semua orang melihat ke masa depan,” kenang seorang staf istana yang telah bekerja bertahun-tahun dekat dengan Assad.

Pada 30 November, sebuah koalisi dipimpin oleh Hayat Tahrir al-Syam merebut kota Aleppo di utara, sebuah pusat ekonomi utama, yang mengejutkan banyak orang di Timur Tengah.

Assad buru-buru kembali ke Damaskus dan mendapati stafnya gelisah. Meskipun demikian, tak ada yang mengira ibu kota Suriah berada dalam bahaya.

Mengetahui pasukannya semakin melemah setelah bertahun-tahun berperang, Assad mencari bantuan dari kekuatan asing yang sebelumnya mendukungnya.

Di Teheran, para komandan tinggi Korps Pengawal Revolusi mengadakan pertemuan darurat untuk mencari cara membantu Assad, kata tiga pejabat Iran, termasuk dua anggota Korps Pengawal.

Dua hari setelah jatuhnya Aleppo, Menteri Luar Negeri Iran, Abbas Araghchi, tiba di Damaskus.

Di sana, ia dengan tegas menyatakan bahwa ibu kota Suriah masih stabil. Kamera televisi menangkapnya berpose bersama keluarga Assad di jalanan dan makan di restoran shawarma.

Ia juga berjanji kepada media Iran bahwa negaranya akan mendukung Assad hingga akhir. Namun, pilihan Iran sangat terbatas.

Selama perang Suriah, Iran memberikan bantuan militer besar-besaran kepada Assad, mengirimkan komandan-komandannya, serta pejuang dari Hizbullah dan negara-negara lain.

Namun, Hizbullah baru saja bertarung dengan Israel dalam kondisi yang sangat parah.

Israel telah membunuh atau melukai ribuan milisi Hizbullah, menghancurkan banyak persenjataan mereka, dan membunuh sebagian besar pemimpin teratas mereka.

Selain itu, Israel juga mengancam pesawat-pesawat Iran yang menuju Suriah serta mobilisasi pasukan darat, yang membuat Teheran kesulitan untuk mendukung Assad.

Menurut Araghchi, Assad terlihat bingung dan marah karena pasukannya gagal mempertahankan Aleppo.

Ia mengaku kepada Araghchi bahwa para jenderalnya mundur dari Aleppo sebagai langkah taktis untuk memperkuat pertahanan Damaskus.

Pendukung utama Assad adalah Presiden Rusia, Vladimir Putin. Rusia memiliki pangkalan militer di Suriah utara dan pangkalan angkatan laut di Tartus, yang memungkinkan Putin memproyeksikan kekuatannya ke luar.

Pada 2015, Putin membantu Assad dengan mengirimkan pasukan Rusia untuk mengalahkan oposisi. Putin juga berusaha menjadi penengah antara Assad dan Presiden Turki, Erdogan, yang mendukung oposisi, tetapi upaya itu gagal.

Setelah Aleppo jatuh dan oposisi mulai maju, Assad merasakan ketegangan dalam hubungannya dengan Putin. Menurut seorang sumber di istana dan pejabat Turki, Putin bahkan berhenti menerima telepon dari Assad.

Tak ada niat untuk bertempur

Setelah merebut Aleppo, oposisi terus bergerak ke selatan dan mengambil alih benteng al-Assad di Hama, yang mengejutkan rezim. Kecepatan kemajuan mereka menunjukkan kerusakan parah dalam tubuh tentara Assad. Krisis ekonomi dan sanksi telah menghancurkan mata uang Suriah, membuat gaji tentara turun di bawah $30 per bulan.

Banyak tentara yang tewas, sehingga al-Assad sangat bergantung pada wajib militer yang diberi makanan-makanan tak bergizi dan dilengkapi perlengkapan tempur usang.

Meskipun sebagian besar hanya membawa senjata ringan, oposisi memiliki satu keuntungan besar: drone. Mereka menggunakan drone untuk menyerang pusat komando dan mengacaukan barisan tentara al-Assad.

Laporan intelijen militer Suriah yang ditinjau oleh New York Times menggambarkan serangan drone yang terus-menerus di seluruh negeri, yang sulit dihadapi oleh pasukan Assad. Banyak drone diluncurkan dari ladang di Provinsi Idlib, yang dikuasai oposisi, di dekat gudang yang menyimpan sekitar 200 unit drone, menurut salah satu laporan.

Di Teheran, para komandan militer melaporkan kepada Ayatollah Ali Khamenei bahwa oposisi maju terlalu cepat sehingga Iran tidak bisa memberikan bantuan. Terkejut, Khamenei mengirim penasihat senior, Ali Larijani, dalam misi rahasia ke Damaskus untuk memberi tahu al-Assad agar mengulur waktu dengan menjanjikan reformasi politik dan pemerintahan baru yang melibatkan oposisi.

Menyadari bahwa Rusia dan Iran tidak dapat menyelamatkannya, Assad mengirim menteri luar negerinya ke Baghdad untuk meminta dukungan militer dari Perdana Menteri Irak, Mohammed Shia al-Sudani. Ia memperingatkan bahwa kejatuhan al-Assad akan membahayakan Irak, namun permintaannya ditolak oleh para pemimpin Irak.

Meskipun pejabat Iran secara publik menyerukan solusi diplomatik, mereka sudah menyimpulkan bahwa Assad tidak akan bertahan. Iran pun mulai menarik staf diplomatik dan militernya secara diam-diam dari Damaskus.

Dalam sebuah memo internal, Pasukan Pengawal Revolusi Iran melaporkan, “Mereka memberi tahu kami bahwa oposisi akan tiba di Damaskus pada hari Sabtu dan tidak ada rencana untuk bertempur. Rakyat Suriah dan tentara tidak siap untuk perang lagi. Ini sudah berakhir.”

‘Tidak ada yang tahu apapun’

Pada 7 Desember, panik melanda Damaskus saat matahari terbit. Semalaman, oposisi bergerak menuju Homs, kota terbesar ketiga di Suriah dan satu-satunya kota yang masih menjadi penghalang antara oposisi dan Damaskus.

Warga bergegas ke toko-toko untuk membeli persediaan makanan, sementara beberapa lainnya mengisi bensin dan melarikan diri dari kota.

Di internal tentara, semakin jelas bahwa pasukan al-Assad sedang gagal. Menurut puluhan laporan intelijen militer pada 6 dan 7 Desember yang ditinjau oleh New York Times, pasukan Assad kewalahan.

Oposisi yang menyamar dengan seragam tentara mendekati Homs dengan mobil yang dihiasi potret Assad. Sementara itu, kelompok bersenjata lain berhasil merebut pos-pos pemeriksaan di Daraa, selatan Damaskus. Salah satu memo melaporkan bahwa tentara meninggalkan kendaraan lapis baja dan senjata mereka, yang kemudian diambil oleh oposisi.

“Mereka berencana untuk menguasai seluruh wilayah selatan dan kemudian menuju ibu kota,” kata laporan lain. “Ini akan terjadi dalam beberapa jam.”

Namun, alarm ini belum sampai ke Istana Presiden, kenang sumber yang berada di sana. Assad dan stafnya masih berada di kantor mereka, berusaha menangani krisis yang berat, meskipun mereka belum sepenuhnya memahami situasi yang terjadi.

“Orang-orang masih menyusun skenario,” kata sumber tersebut, “dan bayangan tentang jatuhnya Damaskus tidak pernah terlintas di benak siapapun.”

Staf istana menghabiskan hari itu menunggu pidato yang seharusnya direkam oleh Assad, berharap pidato itu bisa menghentikan kemajuan oposisi.

“Banyak orang di istana yang berkata bahwa sudah saatnya dia muncul, untuk mendukung tentara, untuk menenangkan orang-orang,” kata sumber tersebut.

Namun, proses pembuatan pidato terus ditunda tanpa penjelasan. Menjelang senja, staf mulai meragukan di mana Assad berada.

Bakar semua dokumen

Meskipun Assad memiliki banyak pilihan istana untuk urusan kenegaraan, ia tinggal bersama istri dan tiga anaknya di sebuah vila modern berlantai empat yang dikelilingi pohon palem dan air mancur di kawasan al-Maliki, lingkungan mewah di Damaskus.

Setelah ia pergi, tetangga-tetangganya mengatakan bahwa tinggal dekat Assad sangat mengganggu. Tentara sering memblokir akses jalan dan menginterogasi pengunjung. Memasang antena satelit atau AC memerlukan komunikasi yang rumit dengan dinas intelijen.

Namun, aAssad dan keluarganya tidak mengganggu—hingga para tetangga terkejut mendengar teriakan penjaga vila beberapa jam sebelum fajar pada 8 Desember.

“’Kalian, lari, lari! Mereka datang!’” kata salah satu tetangga yang mengingat teriakan tersebut. “’Semoga Tuhan mengutuknya. Dia meninggalkan kita!’”

Kekacauan juga terjadi di cabang intelijen angkatan udara di bagian lain kota, menurut seorang prajurit yang hanya menyebutkan nama depannya, Mohammed, karena takut mendapat balasan dari oposisi.

Saat oposisi mendekat, datang perintah untuk mempertahankan ibu kota. Namun, di ponsel mereka, para tentara melihat gambar rekan-rekan mereka di tempat lain yang melepas seragam dan melarikan diri.

Setelah malam tiba, perintah mereka berubah.

“Bakar semua: dokumen, berkas, dan hard disk,” kenang Mohammed. “Saat itu, saya dan rekan-rekan mulai merasa bahwa rezim ini akan jatuh.”

Dia pun mengganti pakaian menjadi pakaian sipil dan berjalan keluar dari pangkalan.

Di dalam istana, waktu berlalu saat para ajudan Assad menunggu pidato yang belum juga direkam, kenang sang sumber.

“Ide dia akan melarikan diri tidak pernah terlintas di pikiran kami,” kata sumber tersebut.

Setelah tengah malam, mereka menerima telepon yang memberi tahu bahwa presiden telah melarikan diri. Kemudian kepala keamanan untuk area tersebut menelepon untuk memberi tahu bahwa para penjaga telah pergi dan dia pun akan meninggalkan tempat itu.

Ketakutan mulai melanda, kata sumber tersebut, dan dia berlari menuju mobilnya, menemukan istana kosong dan gerbang terbuka.

Dia segera bersembunyi, katanya, dan saat sedang mengemudi, ia menyadari bahwa sebenarnya tidak ada rencana untuk pidato tersebut. Itu, menurutnya, adalah tipu daya untuk mengalihkan perhatian staf Assad sementara sang presiden diam-diam melarikan diri.

“Dia menipu kami,” kata sumber itu. “Apakah dia masih memiliki popularitas di kalangan rakyatnya? Tidak. Sebaliknya. Dia mengkhianati kami.”

Di utara Damaskus, Bilal Shahadi, 26, adalah salah satu dari ribuan tahanan yang ditahan di penjara Sednaya, sebuah penjara yang begitu brutal sehingga Amnesty International menyebutnya sebagai “rumah jagal manusia.”

Selama dua tahun di sana, hari-hari Shahadi dimulai dengan para penjaga yang berteriak, “Hewan, keluar!” agar para tahanan menyebutkan nomor tahanan mereka satu per satu — sebuah absensi suram untuk melihat apakah ada yang meninggal semalam.

Sebelum fajar pada 8 Desember, dia terbangun karena dorongan di sel yang penuh sesak dan suara orang-orang di luar yang berteriak, “Allah Akbar!”

Dia menuju pintu dan, untuk keheranannya, mendorongnya terbuka dan berjalan keluar.

Seorang penjaga penjara, katanya, telah membuka salah satu sel dan melarikan diri, meninggalkan kunci di sana. Para tahanan pertama yang keluar membuka sel-sel lainnya.

Shahadi berlari melalui penjara. Di sebuah kantor penjaga, dia menemukan poster Assad, yang kemudian dia bakar dengan pemantik rokok. Dia pun berjalan kaki bersama ribuan tahanan lainnya, bersorak dan menangis saat mereka berjalan pulang.

“Itu seperti mimpi,” kenangnya. “Semua itu terasa seperti mimpi.”

Pizaro Idrus
Pizaro Idrus
Pengajar HI Universitas Al Azhar Indonesia, Mahasiswa PhD Hubungan Antarbangsa Universitas Sains Malaysia.
ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular