Donald Trump Kembali terpilih sebagai Presiden AS usai memenangkan pertarungan dengan Wakil Presiden Kamala Harris dalam pemilu AS. Banyak kalangan menanti bagaimana kebijakan Trump ke depan dalam merespons genosida Gaza oleh Israel yang terus berlangsung.
Menyebut terpilihnya Trump sebagai “kembalinya Trump yang terhebat dalam sejarah”, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menggambarkan kembalinya Trump sebagai “awal yang baru bagi Amerika” dan “komitmen kuat terhadap aliansi besar antara Israel dan Amerika”.
Trump sendiri sempat memperkenalkan dirinya kepada para pemilih Amerika Serikat (AS) sebagai pemimpin dan pembuat kesepakatan yang kuat. Ketika ditanya tentang perang Israel di Gaza.
“Kita ingin menyelesaikannya dan mari kita kembali ke perdamaian dan berhenti membunuh orang,” ucap dia dalam wawancara dengan pembawa acara radio konservatif Hugh Hewitt pada 4 April 2024.
Lantas bagaimanakah arah kebijakan Trump ke depan dalam isu Palestina dan genosida Gaza? Apakah ucapan Trump hanya lip service saja?
Pengajar Hubungan Internasional Universitas Al Azhar Indonesia, Raden Mokhamad Luthfi, menyatakan pesimismenya terkait kemungkinan perubahan kebijakan Amerika Serikat terhadap konflik Israel-Palestina, meskipun mantan Presiden Donald Trump diprediksi akan terpilih kembali pada 2024.
Menurut Luthfi, meski Trump dikenal memiliki sikap anti-perang, pandangannya mengenai Israel dan Palestina cenderung menguntungkan pihak Israel.
“Saya cukup pesimis untuk melihat perubahan kebijakan dari AS terkait perang yang dilancarkan Israel atas Gaza. Meski Donald Trump memiliki sikap anti-perang dan ingin menyelesaikan situasi di Palestina, saya melihatnya bahwa ia ingin agar Israel SEGERA mengalahkan perlawanan Palestina,” kata Luthfi kepada Gazamedia.net pada Kamis (7/11).
Luthfi menambahkan bahwa ia memperkirakan selama November hingga Desember 2024, Israel akan semakin agresif dalam menghancurkan Palestina, dengan tujuan untuk mengalahkan perlawanan yang ada.
“Sehingga ketika Trump dilantik pada Januari 2025, ia bisa mengklaim bahwa perdamaian atau gencatan senjata akan segera tercapai karena Palestina sudah benar-benar kalah,” ujarnya.
“Trump akan perkuat dukungan ke Israel”
Luthfi juga memperkirakan bahwa kemenangan Trump dalam Pemilu 2024 justru akan memperkuat dukungan AS terhadap Israel, mirip dengan kebijakan luar negeri Trump selama masa jabatannya pada 2016-2020.
Ia menilai, Trump dan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu memiliki kesamaan pandangan, terutama mengenai Hamas yang dianggap sebagai kelompok teroris yang perlu dihancurkan.
“Saya percaya bahwa terpilihnya Donald Trump justru akan memperkuat dukungan terhadap Israel. Trump dan Netanyahu memiliki kesamaan pandangan bahwa Hamas adalah kelompok teroris yang harus dihancurkan. Kecil kemungkinan ada ruang dialog yang akan dibuka oleh Trump jika ia terpilih lagi,” kata Luthfi.
Luthfi juga menyoroti sikap Trump terhadap multilateralisme, yang menurutnya lebih mengutamakan kepentingan Amerika Serikat sebagai superpower.
“Saya beranggapan bahwa Trump bukanlah orang yang ingin memajukan multilateralisme. Slogan Make America Great Again menunjukkan bahwa ia ingin membawa Amerika selalu berada dalam status adidaya,” ujarnya.
Menurut Luthfi, kebijakan Trump yang sebelumnya menarik AS keluar dari kesepakatan internasional, seperti Protokol Perubahan Iklim PBB, mencerminkan kecenderungannya untuk mengambil keputusan yang menguntungkan Amerika, bahkan jika itu bertentangan dengan komunitas internasional.
“Trump mungkin akan mengeluarkan kebijakan kontroversial lainnya terkait Israel, termasuk memberikan dukungan yang lebih kuat terhadap upaya-upaya Israel melawan kelompok yang dianggap musuh Israel, seperti Hamas, Hizbullah, Houthi, dan Iran,” katanya.
“Trump harus akomodir aspirasi komunitas Arab”
Sementara itu, Ryantori, pengamat HI Universitas Prof. Dr. Moestopo (Beragama) meyakini akan ada perubahan dalam kebijakan AS di era Trump kedepan.
Direktur Eksekutif the Indonesia Society for Middle East Studies (ISMES) ini mengatakan pada masa kampanye, Trump dengan pendukungnya telah melakukan pendekatan kepada komunitas Arab pro Palestina di Amerika Serikat.
“Richard Grenell, mantan pejabat di Kabinet Trump sebelumnya, sudah berkampanye di Michigan, salah satu negara bagian yang paling penting dalam pemilihan Presiden mendatang, dan negara bagian dengan proporsi orang Amerika Arab terbesar di AS,” ucap Ryantori kepada Gazamedia.net.
Menurut dia, pendukung utama kampanye lainnya terkait komunitas Arab adalah Bishara Bahbah, mantan direktur asosiasi lembaga kebijakan Timur Tengah di Harvard Kennedy School, yang meluncurkan kelompok Arab Americans for Trump.
“Kemenangan Trump, walaupun belum secara resmi diumumkan, disinyalir tidak terlepas salah satunya dari kampanye diatas. Sehingga, kebijakan luar negeri Trump nantinya seharusnya mengakomodasi suara komunitas Arab pro-Palestina tersebut,” jelas Ryantori.
Dia memprediksi, dalam waktu dekat, Trump akan mengurangi dukungannya terhadap Netanyahu.
Selain itu, support terhadap UNRWA selaku pihak yang selama ini mengamankan para pengungsi Palestina, juga harus ditekankan Trump mengingat Netanyahu telah mencap UNRWA sebagai pelindung terorisme.
“Sepertinya Trump tidak akan abai untuk sesegera mungkin mengambil kebijakan terkait Palestina, mengingat semua dukungan di atas. Terlebih, posisi Netanyahu sendiri berada di ujung tanduk setelah dia memecat Menhan Israel Yoav Gallant yang kemudian menggulirkan isu kudeta militer di Israel,” jelas dia.
“Dukungan terhadap Netanyahu dalam kondisi semacam itu sepertinya malah akan membuat kemenangan Trump menjadi kemenangan tanda kutip, kemenangan yang bukan diisi oleh optimisme namun bisa mengarah kepada kemarahan publik AS sendiri. Ini tentu tidak diinginkan oleh Trump dan pendukungnya sendiri,” tambahnya.
Terkait Hamas, jelas Ryantori, Trump sepertinya akan mengambil opsi kebijakan untuk mempertemukan pihak Hamas dan Israel namun tidak dalam waktu dekat.
“Namun, opsi ini harus diperhitungkan karena secara de facto HAMAS masih memiliki posisi di hati penduduk Gaza. Opsi ini juga berlaku terhadap Hizbullah,” jelas dia.
Dalam konteks regional, sambung Ryantori, siapapun Menlu yang akan dipilih Trump akan mendapat tugas untuk melakukan negosiasi terhadap Iran serta pendekatan berkelanjutan terhadap Arab Saudi.
“Ini mengingat kedua negara kuat di kawasan ini sejatinya merupakan kompetitor dalam hal posisi regional leader di kawasan namun di sisi lain sama-sama memiliki kebijakan yang pro terhadap kebebasan Palestina dan penghentian kejahatan perang di Gaza,” papar Ryantori.
Tanggapan Hamas
Pejabat senior Hamas, Sami Abu Zuhri, menanggapi pernyataan Donald Trump yang mengklaim bisa menghentikan perang dalam hitungan jam jika terpilih kembali menjadi Presiden AS.
Abu Zuhri menegaskan, Trump akan diuji atas pernyataannya tersebut.
“Kami mendesak Trump untuk belajar dari kesalahan [Presiden AS Joe] Biden,” ujar Abu Zuhri dalam wawancaranya dengan Reuters.
Dalam pernyataan resminya, Hamas menegaskan pemerintahan AS yang baru harus menyadari bahwa rakyat Palestinaakan terus melawan pendudukan Zionis yang penuh kebencian dan tidak akan menerima jalur apapun yang mengurangi hak sah mereka untuk kebebasan, kemerdekaan, penentuan nasib sendiri, dan pembentukan negara Palestina merdeka dengan Yerusalem sebagai ibu kotanya.
“Presiden AS yang terpilih diharapkan untuk mendengarkan suara-suara yang telah disuarakan oleh masyarakat AS selama lebih dari setahun mengenai agresi Zionis terhadap Jalur Gaza, menolak pendudukan dan genosida, serta menentang dukungan resmi AS dan bias yang berpihak kepada entitas Zionis,” tulis Hamas.