Friday, October 17, 2025
HomeAnalisis dan OpiniLegitimasi Hamas Pasca Perang: Realitas Politik Baru di Timur Tengah

Legitimasi Hamas Pasca Perang: Realitas Politik Baru di Timur Tengah

Hamas kini memegang kendali keamanan karena tidak ada alternatif yang lebih kuat dan berakar

oleh Redaksi Gaza Media

Publikasi Haaretz pada 16 Oktober 2025 oleh analis senior Zvi Bar’el menandai babak baru dalam cara dunia memandang Hamas.
Dalam artikelnya, “Without a Viable Governing Alternative, Trump’s Peace Plan May Legitimize Hamas in Gaza”, Bar’el tidak sekadar menyoroti kebijakan ambigu Donald Trump, tetapi menyingkap satu kenyataan geopolitik yang selama ini enggan diakui banyak pihak: Hamas telah menjadi aktor politik yang tak terhindarkan dalam tatanan Gaza pascaperang.
Dari “Kelompok Teroris” Menjadi Penjamin Keamanan

Dalam pandangan Bar’el, keputusan Trump memberi izin sementara kepada Hamas untuk mengelola keamanan internal di Gaza adalah bentuk pengakuan tidak langsung terhadap kapasitas pemerintahan kelompok itu.

Bagi Trump, hal itu mungkin bersifat pragmatis—sebuah solusi darurat untuk menghindari kekacauan di wilayah yang hancur total. Namun secara politis, langkah ini menandai pergeseran besar dari paradigma lama Washington yang menolak segala bentuk legitimasi Hamas.

Bar’el menilai bahwa bahkan jika rencana transisi Gaza di bawah Gaza International Transitional Authority berjalan, tidak ada kekuatan lain yang memiliki struktur sosial, ideologi, dan legitimasi massa seperti Hamas.

“Hamas kini memegang kendali keamanan karena tidak ada alternatif yang lebih kuat dan berakar,” tulisnya.

Dengan kata lain, perang panjang yang dimaksudkan untuk menghancurkan Hamas justru membuktikan daya tahannya sebagai kekuatan politik dan sosial yang mengakar di Gaza.

Polanya Sudah Terbentuk: Hizbullah, Suriah, dan Irak

Analogi yang diajukan Bar’el tidak muncul tanpa dasar. Ia membandingkan situasi Gaza dengan Lebanon, Suriah, dan Irak — tiga negara yang kini hidup berdampingan dengan kelompok bersenjata yang bertransformasi menjadi kekuatan politik sah.

Di Lebanon, Hizbullah memegang kursi di parlemen dan kabinet, sambil tetap mempertahankan senjata. Di Suriah, milisi-milisi yang dahulu berperang di bawah komando Presiden Ahmed al-Sharaa kini sebagian dilebur ke dalam angkatan bersenjata.

Di Irak, kelompok Hashd al-Shaabi atau Popular Mobilization Forces menjadi bagian dari struktur resmi negara meski tetap loyal pada Iran.

Semua itu menunjukkan satu pola: setiap kali kekuatan militer lokal memiliki legitimasi sosial dan basis ideologis yang kuat, ia tidak bisa dihapuskan hanya dengan kekuatan senjata.

Jika pola itu berulang, maka Hamas—sekalipun dipaksa menurunkan senjata—akan tetap menjadi kekuatan politik yang hidup dalam sistem baru Gaza.

Realpolitik dan Dilema Israel

Israel kini berada dalam dilema strategis. Di satu sisi, ia tidak dapat menerima kembalinya Hamas sebagai kekuatan pengatur di Gaza. Namun di sisi lain, tidak ada entitas Palestina yang mampu menggantikan peran Hamas tanpa memicu kekosongan kekuasaan.

Amerika Serikat mungkin berencana mendatangkan pasukan internasional dan membentuk otoritas sementara, tetapi setiap upaya itu tetap memerlukan persetujuan de facto dari Hamas untuk bisa berjalan stabil.

Bar’el memperingatkan bahwa dalam skenario ini, Hamas bisa saja mengikuti model Hizbullah: menyimpan senjata dalam jumlah terbatas, mengendalikan keamanan internal, dan secara bertahap masuk kembali ke ranah politik tanpa kehilangan basis militannya.

Dengan kata lain, Hamas mungkin tidak lagi berstatus “penguasa Gaza secara resmi”, tetapi tetap menjadi penguasa Gaza secara nyata.

Menuju Pengakuan Tak Terucap

Legitimasi Hamas kini tidak lagi bergantung pada pengakuan formal Barat, tetapi pada fakta di lapangan. Ketika para diplomat Amerika mulai bernegosiasi langsung dengan pejabat Hamas di Doha dan Kairo, seperti disebutkan dalam tulisan Haaretz, proses normalisasi diam-diam itu sejatinya telah dimulai.

Hamas tidak lagi diperlakukan semata sebagai kelompok bersenjata, melainkan sebagai aktor yang harus diajak bicara untuk menjamin stabilitas kawasan.

Jika pola ini berlanjut, Gaza akan menyusul Lebanon dan Irak sebagai contoh bagaimana milisi yang lahir dari perlawanan bisa bermetamorfosis menjadi kekuatan politik sah—bukan karena dunia menginginkannya, tetapi karena realitas memaksa semua pihak untuk mengakuinya.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Terpopuler