Thursday, February 6, 2025
HomeHeadlineOPINI: Apa motif utama Trump di balik rencana mengambil alih Gaza?

OPINI: Apa motif utama Trump di balik rencana mengambil alih Gaza?

Oleh: Pizaro Gozali Idrus

Presiden AS Donald Trump mengeluarkan pernyataan kontroversial dalam pertemuannya dengan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu di Washington. Trump menegaskan bahwa AS berencana untuk mengambil alih Jalur Gaza, merelokasi warganya, dan membangun pusat internasional di kawasan itu. Bahkan jika diperlukan, Trump akan mengirim pasukan AS ke Gaza demi mewujudkan mimpinya.

Pertanyaannya adalah: apa sebenarnya motif Trump di balik ide ini? Pernyataan yang Trump minimal bisa kita baca dalam beberapa hal. Pertama, pesan ini tertuju kepada negara-negara Arab yang dinilai enggan mengambil alih urusan Palestina. Ucapan Trump adalah ancaman ke negara-negara Arab untuk mau menerima kesepakatan dengan Israel dan AS. Harus diketahui, AS telah menghabiskan dana lebih dari USD22 miliar atau sekitar Rp356 triliun selama genosida Gaza untuk mendukung militer penjajah. Itu baru data perkiraan.

Dalam bukunya yang terkenal, The Art of the Deal (1987), Trump menjelaskan bahwa negosiasi biasanya dimulai dengan tuntutan yang sangat tinggi, yang memaksa pihak lawan untuk menghadapi batas-batas yang mereka anggap mungkin. Setelah itu, ketika ada perlawanan, dia akan sedikit mundur dan menurunkan tuntutannya menuju kesepakatan yang lebih moderat, tetapi tetap menguntungkan bagi dirinya. Persis seperti rekam jejaknya sebagai pengusaha properti dan businessman.

Kira-kira Trump mau berkata seperti ini: Anda pilih mana, ikut terlibat mengambil alih para pengungsi Gaza atau saya ratakan Gaza sepenuhnya? Anda mau normalisasi dan isolasi Hamas atau kami buat chaos di Gaza yang mengancam keamanan di kawasan?

Gencatan senjata ini jadi kabar baik bagi rakyat Gaza dan Palestina. Namun, membangun kembali wilayah yang hancur butuh waktu puluhan tahun dan biaya besar.

PBB memperkirakan biaya mencapai US$50 miliar (Rp815 triliun) untuk membangun Gaza kembali, dan prosesnya bisa memakan waktu hingga 10 tahun, bahkan itu dalam skenario paling optimistis.

Lalu apa sebenarnya deal yang diinginkan Trump? Trump sebenarnya tidak ingin benar-benar mengambil alih Gaza, tapi sedang berupaya mendorong tiga hal. Pertama, kontribusi nyata negara-negara Arab untuk merekonstruksi Gaza tanpa harus menghabiskan anggaran keuangan AS.

Kedua mewujudkan normalisasi negara-negara Arab dengan penjajah Israel. Oleh karenanya, dalam konteks ini, ancaman Trump dan ucapan Netanyahu yang sesumbar akan mencapai normalisasi dengan Saudi sebenarnya adalah upaya rezim Washington dan Tel Aviv untuk bargaining dengan Riyadh. Sepanjang 2020, AS berhasil membujuk empat negara Arab untuk normalisasi dengan penajajah yakni: Uni Emirat Arab, Bahrain, Sudan, dan Maroko. Kebijakan ini berhenti di era Biden.

Ketiga, mengeyahkan kelompok perlawanan dari Jalur Gaza agar Israel terbebas dari serangan Taufan Al Aqsa. Operasi tersebut tidak hanya menunjukkan bagaimana kelemahan tentara Israel, tapi juga telah memaksa AS untuk ikut turun tangan. Bagi Trump, perang tidak sepenuhnya menguntungkan bagi AS.

Dari segala tujuan-tujuan Trump di atas, AS sejatinya sedang berupaya menghentikan perjuangan bangsa Palestina mencapai kemerdekaannya agar penjajah dan koalisi barat-nya bisa lebih leluasa membangun hegemoni keamanan dan ekonominya di wilayah Timur Tengah. Tujuannya lebih digerakkan kepada ekspansi bisnis di kawasan kaya minyak itu.

Ini persis seperti ditulis Markus Bouillon dalam The Peace Business: Money and Power in the Palestine-Israel Conflict. Alih-alih untuk mewujudkan perdamaian Palestina, Perjanjian Oslo pada 1993 yang ditengahi oleh AS lebih digerakkan motif bisnis. Bukanlah suatu kebetulan bahwa tingkat investasi asing Israel langsung mencapai puncaknya pada tahun 1995 sebesarUS$3,6 miliar dari hanya US$686 juta pada tahun 1991.

Kedua, pesan Trump jelas tertuju kepada Hamas. Berbicara Gaza tidak mungkin tanpa melibatkan Hamas. Bahkan bagi warga Palestina, Operasi Taufan Al Aqsha, adalah operasi warga Palestina itu sendiri melawan penjajahan. Mengosongkan Gaza adalah upaya untuk memperlemah, bahkan melumpuhkan Hamas. Selama Hamas masih eksis di Gaza, segala cita-cita penjajah Israel dan sekutu baratnya akan sulit dijalankan.

Jadi Trump memang berambisi membangun perdamaian di Timur Tengah. Tapi perdamaian dalam kamusnya adalah langgengnya eksistensi penjajah atas bumi Palestina dan digdayanya Zionisme di tanah Arab. Bukan perdamaian sejati untuk mengakhiri genosida struktural seperti terbebasnya Masjidil Aqsa dari penjajah, kembalinya tanah-tanah bangsa Palestina yang dicuri, berakhirnya pembantaian massal warga Palestina oleh penjajah.

Apakah Anda pernah dengar selama ini bahwa Trump setuju atas kemerdekaan Palestina, mencabut blokade Gaza, dan menghentikan aneksasi penjajah di Tepi Barat? Itu tidak ada dalam agenda Trump.

Penulis adalah Fellow Asia Middle Center for Research Dialogue. Kandidat doktor Hubungan Internasional pada Center for Policy Research Universiti Sains Malaysia. Penulis buku Hamas Superpower Baru Dunia Islam dan Runtuhnya Dinasti Al-Assad.

Pizaro Idrus
Pizaro Idrus
Pengajar HI Universitas Al Azhar Indonesia, Mahasiswa PhD Hubungan Antarbangsa Universitas Sains Malaysia.
ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular