Sunday, January 19, 2025
HomeHeadlineOPINI: Dapatkah gencatan senjata Gaza mengakhiri genosida struktural Israel?

OPINI: Dapatkah gencatan senjata Gaza mengakhiri genosida struktural Israel?

Oleh: Muhannad Ayyash

Kesepakatan gencatan senjata antara Hamas dan Israel, pertama-tama, memberikan secercah harapan bagi rakyat Palestina di Gaza yang telah menderita dalam pembantaian yang sangat brutal dan mengerikan. Selama 15 bulan terakhir, mereka harus menahan serangan udara, pembunuhan, ancaman, penahanan, kelaparan, penyakit, dan berbagai kesulitan lain yang sulit dibayangkan, apalagi dijalani dan bertahan hidup.

Kesepakatan ini baru akan mulai berlaku pada Ahad, 19 Januari 2025, yang kebetulan terjadi sehari sebelum pelantikan Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat. Meskipun ada yang menganggap keberhasilan kesepakatan ini sebagai hasil dari tekanan pemerintahan Trump terhadap Israel, penting untuk diingat bahwa Trump adalah seorang ahli dalam teater politik dan tentu saja ingin kesepakatan ini tercapai sebelum pelantikannya untuk memperkuat posisi politiknya.

Dengan kata lain, Trump tidak menekan Netanyahu untuk menerima gencatan senjata ini karena ia benar-benar menginginkan perdamaian, atau bahkan karena ia berkomitmen pada semua bagian dari kesepakatan tersebut. Trump kemungkinan besar melakukannya demi keuntungan politik pribadi, untuk meningkatkan reputasinya dan mendongkrak agenda pemerintahannya.

Apa yang terjadi di balik pintu tertutup antara tim Trump dan pejabat Israel tidak sepenuhnya diketahui, namun yang jelas adalah bahwa pemerintahan Trump tidak tertarik pada pembentukan negara Palestina yang berdaulat sepenuhnya sesuai dengan batas-batas 1967. Mereka juga tidak menentang rencana Israel untuk menguasai lebih banyak wilayah Tepi Barat.

Bahkan, beberapa laporan menyebutkan bahwa pemerintahan Trump mungkin menjanjikan dukungan AS kepada Netanyahu untuk aneksasi sebagian wilayah Tepi Barat, dengan syarat Netanyahu menyetujui kesepakatan gencatan senjata ini — yang mungkin saja hanya berlaku pada fase pertama. Dalam skenario seperti ini, Trump mendapat kemenangan politik yang diinginkannya, sementara Netanyahu melanjutkan agenda kolonisasi pemukimannya di Palestina.

Ada kekhawatiran besar terkait kesepakatan ini, karena tidak ada jaminan bahwa fase kedua dan ketiga akan dilaksanakan, yaitu penarikan penuh pasukan Israel dari Gaza, kembalinya pengungsi Palestina ke Gaza, dan rekonstruksi total Gaza.

Selama 15 bulan pembantaian ini, Gaza telah hancur lebur. Banyak wilayah Gaza yang kini tak bisa lagi dihuni. Orang-orang tidak bisa begitu saja kembali ke lingkungan yang telah rata dengan tanah, ke bangunan yang tidak memiliki pasokan air, sistem pembuangan yang malfungsi, atau akses ke listrik dan bahan bakar.

Tidak ada lagi sekolah, universitas, rumah sakit, atau klinik yang bisa dipakai. Sistem ekonomi telah runtuh, dan kini mereka sepenuhnya bergantung pada bantuan luar negeri untuk bertahan hidup.

Penyakit merajalela, dan banyak zat berbahaya yang ditinggalkan oleh bom Israel kini mencemari udara, tanah, dan air Gaza. Banyak keluarga hancur, sementara yang lainnya tercerai-berai oleh serangan Israel yang brutal, meninggalkan banyak anak-anak yang menjadi yatim piatu.

Banyak orang kini menjadi sangat lemah dan tak mampu lagi memberi makan keluarga mereka. Bagaimana mereka akan bisa menjalani kehidupan “normal” setelah kehancuran seperti ini, itu masih sangat tidak jelas.

Masalah lain yang juga belum ada jawabannya adalah bagaimana pemerintahan Gaza akan dikelola setelah gencatan senjata ini. Tentu saja, kesepakatan ini tidak menyentuh inti masalah atau memberikan solusi jangka panjang. Dan solusi jangka panjang ini sangat penting. Dalam skenario terbaik, kesepakatan ini bisa mengakhiri operasi genosida yang sedang berlangsung, tetapi jelas tidak menyelesaikan akar masalahnya: genosida struktural yang dilakukan Israel terhadap rakyat Palestina.

Genosida struktural yang dihadapi rakyat Palestina, yang mereka sebut sebagai Nakba yang terus berlangsung, bukan hanya merujuk pada peristiwa-peristiwa genosida seperti Nakba 1948 atau serangan ke Gaza ini, melainkan pada sebuah struktur kolonial yang terus berusaha menghapuskan kedaulatan Palestina, menghentikan hak kembali rakyat Palestina ke tanah mereka, mengusir lebih banyak orang Palestina, dan mengklaim kedaulatan eksklusif Israel dari sungai hingga laut.

Struktur genosida ini beroperasi dengan berbagai cara, baik melalui pengusiran langsung maupun perlahan-lahan, pencegahan pembangunan ekonomi, penghapusan sejarah dan budaya Palestina, hingga penindasan hak-hak dasar rakyat Palestina.

Operasi genosida seperti yang terjadi di Gaza—yang melibatkan pembantaian massal, pengusiran besar-besaran, dan penghancuran yang membuat wilayah tersebut tak dapat dihuni—adalah salah satu metode dari struktur genosida ini. Namun, ini bukan satu-satunya cara. Ada juga pengusiran bertahap, pembatasan pembangunan ekonomi, penghapusan identitas Palestina, hingga penghalangan kedaulatan politik mereka.

Lalu, pertanyaan yang muncul adalah: Bisakah gencatan senjata ini, bahkan jika berjalan hingga fase ketiga, mengakhiri genosida struktural ini? Jawabannya jelas tidak, karena kesepakatan gencatan senjata ini tidak menyentuh instrumen-instrumen lain dari genosida struktural yang dilakukan Israel.

Genosida struktural ini harus terus diberi nama, dibongkar, dan dilawan. Selama proyek kolonial pemukiman Israel ini masih disembunyikan atau diminimalkan dalam percakapan diplomatik dan publik, masalah inti ini tidak akan pernah selesai. Tanpa tekanan internasional yang nyata dan berkelanjutan terhadap negara Israel—tanpa isolasi ekonomi dan politik oleh negara-negara di seluruh dunia hingga kolonialisme pemukiman Israel dihentikan—kita akan terjebak dalam lingkaran setan genosida ini, sebuah ketegangan yang pada akhirnya akan meledak dalam perang total yang lebih besar lagi.

Bagi komunitas internasional, saat ini bukan waktunya untuk merayakan atau merasa puas dengan pencapaian kecil. Ini adalah waktu untuk mengambil tindakan politik dan ekonomi yang serius terhadap Israel agar genosida terhadap rakyat Palestina dalam segala bentuknya dapat dihentikan.

Muhannad Ayyash adalah penulis A Hermeneutics of Violence (UTP, 2019), dan analis kebijakan di Al-Shabaka, Jaringan Kebijakan Palestina. Ia lahir dan dibesarkan di Silwan, Al-Quds, sebelum berimigrasi ke Kanada, tempat ia sekarang menjadi Profesor Sosiologi di Universitas Mount Royal. Saat ini ia sedang menulis buku tentang kedaulatan kolonial pemukim. Tulisan ini diambil dari opininya di Al Jazeera.

Pizaro Idrus
Pizaro Idrus
Pengajar HI Universitas Al Azhar Indonesia, Mahasiswa PhD Hubungan Antarbangsa Universitas Sains Malaysia.
ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular