Saturday, May 17, 2025
HomeAnalisis dan OpiniOPINI - Gaza masuki fase terkelam krisis kemanusiaan dalam sejarah modern

OPINI – Gaza masuki fase terkelam krisis kemanusiaan dalam sejarah modern

Oleh: Dr. Abdul Majed Al-Aloul*

Gaza saat ini tengah memasuki fase paling kelam dari krisis kemanusiaan yang pernah tercatat dalam sejarah modern.

Bencana kelaparan yang menimpa wilayah ini tak sekadar krisis biasa, melainkan telah berubah menjadi tragedi menyayat hati yang melampaui daya tahan manusia.

Di tengah dunia yang bergelimang kelimpahan pangan, dan negara pendudukan yang hidup berkecukupan, ribuan anak Gaza menghadapi kematian akibat kelaparan.

Mayoritas penduduk di Jalur Gaza kini bertahan dalam kekurangan parah akan makanan, air, dan tempat tinggal.

Semua itu terjadi di bawah blokade ketat yang telah berlangsung lebih dari dua bulan tanpa jeda.

Kelaparan di Gaza: Luka lama yang membusuk

Tragedi ini bukan dimulai sejak perang meletus pada Oktober 2023. Bahkan sebelum itu, Gaza telah lama digerogoti oleh blokade, kemiskinan, dan pengangguran yang sistemik.

Berdasarkan analisis Persrikatan Bangsa-Bangsa (PBB), lebih dari 68% rumah tangga di Gaza telah mengalami ketidakamanan pangan dalam berbagai tingkat.

Mereka sangat bergantung pada bantuan pangan luar, sementara tingkat kemiskinan umum mencapai 61% pada akhir tahun 2022 dan pengangguran menembus angka 45%.

Di sisi lain, negara pendudukan menikmati stabilitas pangan yang tinggi. Dengan produksi dalam negeri yang kuat dan akses impor tanpa hambatan, mereka hampir tak mengenal apa itu kelaparan.

Padahal, rata-rata tingkat kelaparan dunia hanya sekitar 9,2%, dan negara-negara Arab mencatatkan angka tak lebih dari 14%.

Artinya, bahkan sebelum perang, Gaza telah menjadi salah satu wilayah dengan tingkat kelaparan tertinggi di dunia.

Hak itu disebabkan blokade Israel sejak 2007 yang turut melarang masuknya barang-barang penting, termasuk pupuk, pakan ternak, dan alat penunjang pertanian, dengan alasan barang-barang itu berpotensi “berkegunaan ganda.”

Walau pengiriman bahan pangan seperti tepung, sayur-sayuran, dan susu masih diizinkan secara terbatas, distribusinya dibatasi kuota ketat dan pengawasan ekstrem di perbatasan. Alhasil, rakyat Gaza hanya memperoleh secuil dari kebutuhan hidup mereka.

Pertanian hancur, distribusi pangan disabotase

Sejak perang dimulai pada Oktober 2023, kehancuran masif melanda sektor pertanian, peternakan, dan perikanan di Gaza.

Analisis data satelit dan laporan PBB menunjukkan bahwa sekitar 75% lahan pertanian hancur atau terbakar.

Lebih dari 11.000 hektare dari total 15.000 hektare lahan produktif musnah. Kerugian di sektor peternakan tak kalah memilukan: lebih dari 96% populasi ternak dan unggas punah akibat konflik.

Perkebunan zaitun dan buah-buahan—penopang utama ketahanan pangan lokal—juga lenyap lebih dari tiga perempatnya.

Sektor pertanian yang sebelumnya mampu menyuplai 40% kebutuhan pangan kini nyaris lumpuh total.

Sumber air dan infrastruktur irigasi pun mengalami kerusakan parah. Sumur-sumur kehabisan daya karena kekurangan bahan bakar, dan lahan-lahan pertanian kini menjadi gurun sunyi tempat rakyat mencari sisa-sisa benih di antara puing-puing.

Yang lebih menyakitkan, fasilitas distribusi pangan juga tak luput dari serangan. Sebanyak 37 pusat distribusi bantuan dan 26 dapur umum yang sebelumnya menyuplai makanan hangat telah diserang dan dihancurkan.

Banyak truk bantuan yang membawa bahan pangan kini tertahan berhari-hari di perbatasan tanpa izin masuk, menyisakan harapan rakyat Gaza yang makin tipis.

Dapur tutup, roti jadi barang mewah

Kondisi makin memburuk ketika seluruh jaringan roti bersubsidi milik Program Pangan Dunia (WFP) berhenti beroperasi pada akhir Maret 2025. Kelangkaan gas dan tepung membuat seluruh dapur roti tak bisa berjalan. Harga kebutuhan pokok pun melonjak ke tingkat yang nyaris tak masuk akal. Tepung terigu, misalnya, kini dijual 500% hingga 700% lebih mahal dibandingkan harga sebelum perang.

Kelaparan yang belum pernah terjadi: Memakan korban jiwa

Gaza kini berada di ambang bencana kelaparan total. Tak satu pun wilayah di jalur sempit tersebut yang bisa disebut “aman secara pangan,” menurut pengamatan para pekerja kemanusiaan.

Kondisinya telah memasuki kategori Fase 4 (darurat kelaparan) bahkan sebagian wilayah berada di Fase 5, status tertinggi dalam klasifikasi bencana kelaparan, yaitu bencana kelaparan penuh.

Dalam waktu dekat, tak tertutup kemungkinan seluruh wilayah Gaza akan secara resmi dinyatakan berada dalam status tersebut, terutama setelah Program Pangan Dunia (WFP) mengumumkan bahwa seluruh cadangan makanan mereka di Gaza telah habis pada 25 April 2025.

Lonjakan harga makanan mencapai tingkat yang tidak masuk akal: kenaikan berkisar antara 400% hingga lebih dari 2.600%.

Harga sepotong roti kini 15 kali lipat lebih mahal dibanding harga normal sebelum penutupan perbatasan.

Seluruh sistem penghidupan masyarakat telah runtuh, menyisakan warga dalam kesulitan ekstrem untuk mengakses kebutuhan dasar.

Kondisi ini membawa dampak langsung pada kesehatan masyarakat, terutama anak-anak. Hingga awal Mei 2025, catatan sektor kesehatan menunjukkan 57 kematian akibat kelaparan dan kekurangan gizi, termasuk 53 anak-anak.

Jumlah ini kemungkinan besar hanya puncak dari gunung es. Ketiadaan susu formula, gizi buruk ekstrem, dan ketidakmampuan kelompok rentan seperti lansia, penyandang disabilitas, dan ibu menyusui untuk mengakses makanan telah memicu krisis kemanusiaan tanpa preseden.

Menurut pernyataan Kantor Media Pemerintah Gaza pada 4 Mei 2025, lebih dari 3.500 anak di bawah usia lima tahun berada dalam kondisi kritis dan terancam kehilangan nyawa akibat kelaparan.

Sekitar 290.000 anak lainnya berada di ambang kematian, sementara 1,1 juta anak kekurangan asupan gizi minimum yang dibutuhkan untuk bertahan hidup setiap harinya.

Rumah sakit telah menerima lebih dari 70.000 anak dengan gejala malnutrisi akut. Angka-angka ini menunjukkan bahwa bencana kelaparan di Gaza berpotensi melampaui tragedi kemanusiaan besar seperti di Somalia, Yaman, atau Sudan Selatan.

Kelaparan: Senjata terlarang yang digunakan secara terang-terangan

Dalam hukum internasional, tindakan menjerumuskan populasi sipil ke dalam kelaparan bukanlah sekadar kebijakan kontroversial. Melainkan pelanggaran berat yang diklasifikasikan sebagai kejahatan perang dan bahkan kejahatan terhadap kemanusiaan.

Konvensi Jenewa Keempat secara eksplisit melarang “penggunaan kelaparan sebagai senjata perang” atau sebagai bentuk hukuman kolektif.

Mahkamah Pidana Internasional (ICC) juga telah memasukkan “pembiaran kelaparan terhadap warga sipil” sebagai tindak kriminal yang bisa dijerat dalam kasus kejahatan perang.

Piagam internasional menyatakan bahwa menyebabkan penderitaan pada warga sipil dengan merampas hak mereka atas makanan adalah tindakan yang melanggar hukum internasional.

Seiring meningkatnya tekanan dari masyarakat dunia, sejumlah lembaga hukum internasional mulai bergerak.

Mahkamah Pidana Internasional telah membuka investigasi atas dugaan kejahatan perang yang dilakukan oleh pemerintah Israel.

Mankamah juga sudah mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Perdana Menteri serta Menteri Pertahanan Israel atas keterlibatan mereka dalam penghilangan akses warga sipil terhadap makanan.

PBB pun telah membentuk komite penyelidikan khusus dan melibatkan Komisi Internasional untuk memantau pelanggaran yang terjadi di Gaza.

Isu “kelaparan sebagai senjata” kini secara resmi tercantum dalam laporan-laporan hak asasi manusia PBB.

Namun, meskipun langkah-langkah hukum mulai ditempuh, realitas di lapangan menunjukkan bahwa praktik kejam ini masih berlangsung.

Penggunaan hak veto oleh Amerika Serikat di Dewan Keamanan PBB dinilai memberi perlindungan politik kepada Israel untuk melanjutkan kebijakan kelaparan massal sebagai alat tekanan dalam perang.

Gaza dan ancaman kelaparan: Saatnya dunia bergerak

Setelah menjabarkan besarnya bencana kelaparan yang kini melanda Jalur Gaza, pertanyaan berikutnya adalah: apa yang bisa dilakukan?

Di tengah blokade yang menghancurkan, kelumpuhan logistik, dan tumpukan penderitaan manusia, dunia tidak bisa membiarkan penderitaan ini berlalu begitu saja.

Waktu sangat krusial, dan setiap hari yang berlalu tanpa solusi berarti semakin banyak nyawa yang hilang. Inilah sejumlah langkah mendesak yang harus segera diambil:

  1. Tekanan dan advokasi internasional: Saatnya dunia bersatu

Langkah pertama adalah mengerahkan segala bentuk tekanan internasional untuk membuka kembali perbatasan Gaza secara menyeluruh dan tanpa syarat.

Keputusan internasional yang mengikat harus segera dikeluarkan guna menjamin perlindungan warga sipil dan menjamin masuknya bantuan kemanusiaan.

Dewan Hak Asasi Manusia PBB mesti meningkatkan intensitas penyelidikannya, dan Majelis Umum PBB harus mengaktifkan Piagam PBB untuk mengklasifikasikan aksi sistematis kelaparan di Gaza sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan.

Lembaga peradilan internasional seperti Mahkamah Pidana Internasional dan Mahkamah Internasional juga dituntut untuk mempercepat proses penyidikan dan penuntutan terhadap pihak-pihak yang terlibat dalam kejahatan ini.

Tak kalah penting, lembaga-lembaga regional seperti Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) dan Liga Arab perlu mengambil sikap tegas dan memulai proses hukum terhadap pelaku kejahatan kemanusiaan tersebut di forum internasional.

Dukungan masyarakat sipil dan tekanan dari gerakan global akar rumput harus terus digencarkan untuk mendorong para pemimpin dunia bertindak.

  1. Tindakan darurat di dalam Gaza: Menyelamatkan apa yang bisa diselamatkan

Di tengah keterbatasan, upaya penyelamatan lokal sangat penting untuk mencegah bencana menjadi lebih parah.

Pemulihan dan pengoperasian kembali sumur air dan fasilitas desalinasi menggunakan panel surya harus menjadi prioritas. Begitu pula dengan perbaikan dan pengoperasian kembali roti dan oven masyarakat.

Selain itu, warga bisa didorong untuk memulai kembali pertanian musiman dan kebun pangan di sekitar tenda pengungsian.

Sisa bahan bakar harus diprioritaskan untuk produksi roti dan dapur umum. Distribusi pangan yang tersisa harus dikelola secara adil dan efisien, sembari memerangi praktik penimbunan dan harga selangit oleh pemasok.

Penggunaan sistem barter, mata uang digital, atau aplikasi lokal dapat membantu masyarakat memperoleh bahan pangan tanpa beban biaya besar.

  1. Persiapan global untuk pembukaan perbatasan: Waktu tidak bisa menunggu

Saat perbatasan dibuka nanti, dunia harus siap dengan respons cepat. Bantuan pangan non-perishable (tidak cepat basi) seperti makanan kaleng dan makanan kering harus disiapkan sejak sekarang. Solusi bagi makanan segar—seperti pengalengan dan pengeringan—juga perlu diupayakan.

Lebih dari itu, bantuan berupa benih, pupuk, alat-alat pertanian, dan hewan ternak kecil harus segera dikemas dalam paket tanggap darurat.

Infrastruktur pendukung, seperti sistem pembangkit listrik, suku cadang pengolahan air, dan kendaraan distribusi, juga perlu dirancang dan disiapkan agar bisa dikirim sesegera mungkin.

  1. Rencana awal untuk menghapus kelaparan secara permanen

Sebagai bagian dari agenda pembangunan berkelanjutan global, khususnya target menghapus kelaparan (Zero Hunger), diperlukan rencana awal untuk membangun kembali ketahanan pangan Gaza setelah fase darurat.

Prioritasnya mencakup distribusi benih, perbaikan lahan dan irigasi, rekonstruksi rumah kaca dan sumur air, serta pengadaan pupuk dan peralatan tani.

Pemulihan peternakan yang musnah juga menjadi fokus penting. Langkah-langkah ini harus didukung dengan pelatihan bagi petani lama dan pembentukan generasi petani baru.

Pembentukan inkubator pertanian akan menjadi fondasi awal untuk membangun kembali produksi pangan lokal secara berkelanjutan.

Krisis Gaza bukanlah sekadar konflik bersenjata. Ia adalah refleksi dari bagaimana dunia memperlakukan konsep kemanusiaan itu sendiri.

Ketika anak-anak meregang nyawa karena lapar di era teknologi dan kemakmuran, maka kegagalan bukan terletak pada sumber daya, tetapi pada keberanian moral untuk bertindak.

Seperti disampaikan oleh Komisaris Jenderal UNRWA Philippe Lazzarini. Ia menyampaikan bahwa kemanusiaan di Gaza sedang berada dalam jam-jam tergelapnya.

Dunia dituntut untuk tidak menunggu lebih lama. Setiap menit berarti nyawa. Sekaranglah waktunya untuk bertindak.

*Dr. Abdul Majed Al-Aloul adalah seorang pakar di bidang kemanusiaan dan e-pemerintahan. Ia telah menulis 12 buku, menerbitkan 18 makalah ilmiah, dan menerima 4 penghargaan di bidang kerja kemanusiaan dan e-governance. Ia telah bekerja di bidang ini selama lebih dari 24 tahun. Tulisan ini diambil dari situs Aljazeera.net dengan judul “Ghazah Fī al-Marhalah al-Khāmisah, Kāratsah al-Majā’ah”.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular