Oleh: Pizaro Gozali Idrus
Baru-baru ini, Amerika Serikat dilaporkan menawarkan kepada pemerintah Suriah untuk melakukan normalisasi dengan Israel. Laporan tersebut pertama kali muncul dalam berita Bloomberg, yang mengungkapkan bahwa AS tengah mengirimkan utusan khusus, anggota Kongres dari Partai Republik Corry Mills, untuk membicarakan kemungkinan hubungan diplomatik antara Suriah dan Israel.
Mills, yang juga seorang veteran perang Irak, dipilih untuk melakukan pendekatan ini, bukan diplomat senior AS seperti Menteri Luar Negeri Mike Pompeo atau Utusan Khusus AS untuk Timur Tengah, Steve Witkoff. Dengan tidak mengirim diplomat tingkat tinggi, ini adalah cara AS untuk membaca terlebih dahulu bagaimana politik luar negeri Suriah dan pikiran Ahmad Sharaa soal Israel.
Ini sebenarnya bukan pendekatan baru. Sejak Ahmad Sharaa mengunjungi UEA, proposal ini juga sudah ditawarkan oleh Emirat yang merupakan sekutu AS-Israel di kawasan. Sebab Damaskus bisa menjadi bom waktu jika terus dibiarkan berkembang.
Tapi hingga hari ini sebenarnya tidak ada pernyataan resmi dari Damaskus soal niatnya membangun relasi dengan Tel Aviv.
Menurut sumber pemerintah Suriah, dalam pertemuan itu Ahmad Sharaa lebih fokus mendesak Israel keluar dari teritori Suriah alih-alih membicarakan soal normalisasi dengan Israel. Dan baru-baru ini Syria TV juga melaporkan bahwa Damaskus telah menolak tawaran normalisasi dari Washington. Jadi pernyataan Suriah akan membangun normalisasi dengan Israel untuk saat ini sebenarnya adalah kesimpulan yang prematur.
Melemahnya Netanyahu di Israel
Pertanyaannya: mengapa Suriah diincar oleh AS untuk masuk dalam skema Abraham Accord? Ini tidak lepas semakin melemahnya Netanyahu dan tetap menguatnya Hamas. Gelombang petisi anti genosida di internal Israel saat ini sudah mencapai hampir 150.000 tanda tangan.
Israel pun menghadapi fenomena yang baru kali ini terjadi dalam sejarah di mana dari mulai tingkat angkatan udara, pilot, perwira, dokter militer, brigade elit tempur Golani, satuan lapis baja hingga satuan intelejen mengkritrik secara terbuka tindakan-tindakan Netanyahu dan melancarkan petisi mogok perang.. Aksi gelombang tolak perang memang sempat terjadi di internal tentara Israel pada tahun 1987 dan 2000. Tapi belum pernah sebesar ini.
Belum lagi kita melihat bahwa Hamas yang hingga kini masih gagal ditaklukan Israel. Proposal untuk melucuti senjata ternyata tidak menggoyahkan Hamas.
Fakta terbaru pertempuran darat yang coba dilakukan Israel untuk bebaskan sandera hanya melahirkan gelombang kematian baru tantara Israel. Ini juga yang membuat Mahmoud Abbas sampai harus meluapkan emosinya yang mendesak Hamas menyerah.
Apa yang terjadi di Suriah sejatinya tidak bisa kita lepaskan dari geopolitik Timur Tengah secara keseluruhan. Menguatnya pemerintahan baru Suriah yang tidak ramah dengan penjajah hanya akan menjadi bom waktu untuk melumpuhkan kekuatan penjajah.
Situasi semakin rumit dengan perang tarif Trump yang ternyata tidak membuat semua negara takluk. Apalagi ini juga mengarah kepada soldiritas Asia dan Afrika untuk menghadapi kekuatan besar dunia.
Belum lagi, upaya Trump untuk meredam pengaruh China, yang merupakan pesaing utama ekonomi Washington, ternyata tidak membuat Beijing tunduk. China balik memberikan sanksi kepada AS.
Trump memberlakukan tarif resiprokal sebesar 145% untuk barang-barang impor dari China yang masuk ke AS. China balas dendam dengan menetapkan tarif 125% untuk barang-barang impor AS yang dijual ke negaranya.
Trump adalah pemimpin AS yang selalu memasukkan pertimbangan ekonomi dalam kebijakan keamanannya di Timur Tengah. Di sini AS memiliki kartu yakni pencabutan sanksi terhadap Suriah baru.
Sanksi ekonomi AS terhadap Suriah adalah sanksi yang melarang hampir semua sektor ekonomi Suriah, termasuk investasi baru dan perdagangan dengan perusahaan Suriah. Sanksi ini ditujukan untuk pemerintah Suriah, namun berdampak buruk pada rakyat Suriah, seperti mengurangi akses terhadap kebutuhan dasar dan layanan kesehatan.
Sanksi AS juga membuat sulit bagi bank asing untuk melakukan pembayaran ke Suriah, karena transaksi dengan Suriah dan penggunaan dolar dalam transaksi dilarang. Kondisi ini diperparah dengan upaya Bashar Assad yang merampok kekayaan Suriah untuk kepentingannya sendiri.
Media Inggris, Financial Times (FT) pada pertengahan Desember lalu melaporkan bahwa ternyata Bank Sentral Suriah pernah mengirim uang tunai senilai US$250 juta (Rp4 triliun) ke Bandara Vnukovo, barat daya Moskow, Rusia, periode 2018-2019 untuk kepentingan Assad.
FT juga melaporkan fakta keluarga Assad ternyata memiliki sedikitnya 18 apartemen mewah di Moskow. Keluarga besarnya juga membeli aset di Rusia antara tahun 2018 dan 2019. Ketika keluarga Assad dan kroninya menikmati kekayaan mereka, warga Suriah kelaparan. Laporan Bank Dunia tahun 2022 mengatakan 14,5 juta orang, hampir 70% dari populasi, hidup dalam kemiskinan, sementara kemiskinan ekstrim mempengaruhi satu dari setiap empat orang.
Situasi serupa terjadi saat Presiden Trump mencabut sanksi terhadap Sudan. Sudan masuk dalam daftar teroris AS sejak 1993 karena dituduh mendukung kelompok seperti al-Qaeda dan menampung Osama bin Laden.
Setelah al-Bashir lengser pada 2019, Sudan mulai mengalami transformasi demokratis dan melakukan normalisasi dengan Israel pada 2020. AS pun mencabut status Sudan sebagai negara sponsor terorisme setelah itu. Oleh karena itu, di tengah pertarungan ekonomi dan pengaruh AS yang mulai tergerus, Trump butuh mitra-mitra baru di Timur Tengah dan dunia.
Upaya mengembalikan hegemoni ekonomi AS di Timur Tengah
Normalisasi Israel-Suriah hanyalah pintu masuk Washington ke Timur Tengah. Ini bukan sekedar soal Suriah. Tapi ini adalah upaya Trump untuk membuat “make America great again in middle east”
Washington mengharapkan dunia Arab tetap menjadi sekutu AS di tengah dunia yang kian multipolar dan munculnya kekuatan China. Elon Musk sudah meramal kehancuran ekonomi AS jika Washington telat bertindak. Musk khawatir tentang utang nasional AS yang semakin besar, kini mencapai USD36,22 triliun. Pembayaran bunga utang saja sudah menjadi beban besar dan terus meningkat yang menyerap 23 persen dari anggaran Washington.
Namun normalisasi itu akan sangat tidak mudah bagi Suriah. Israel bukanlah negara yang dapat menepati janji. Genosida Gaza adalah bukti sederet pelanggaran kesepakatan yang telah diteken oleh Israel dan AS.
Klaim-klaim Trump sebagai obor perdamaian di Timur Tengah hanyalah klaim palsu melihat restu Washington untuk melakukan genosida lanjutan di Gaza. Dan kini dunia sudah kehilangan kepercayaan kepada mereka.
Penulis adalah Direktur Eksekutif Baitul Maqdis Institute. Kandidat PhD bidang HI pada Center for Policy Research USM Malaysia