Oleh: Motasem A Dalloul
Situasi kemanusiaan di Jalur Gaza kian memburuk seiring waktu, di tengah pernyataan dari para pemimpin Israel yang menyatakan akan terus memperketat blokade serta mencegah masuknya bantuan makanan, barang, dan air ke wilayah tersebut.
Pemerintah Israel menyebut bahwa pasokan makanan di Gaza masih mencukupi dan menuduh Hamas menggunakan bantuan kemanusiaan sebagai alat untuk mengontrol warga Palestina.
Namun, sejumlah lembaga PBB yang bekerja langsung di lapangan membantah klaim tersebut. Mereka menegaskan bahwa terjadi kekurangan parah dalam pasokan bantuan makanan, obat-obatan, air bersih, dan bahan bakar, di tengah meningkatnya serangan militer.
“Kami menerima laporan dari mitra di lapangan mengenai lonjakan serangan yang menyebabkan banyak korban sipil serta kehancuran infrastruktur penting yang dibutuhkan untuk menopang kehidupan,” demikian pernyataan Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan (OCHA).
Sementara itu, sejumlah pejabat Israel secara terbuka menyatakan bahwa penggunaan kelaparan terhadap warga sipil merupakan salah satu strategi untuk menekan kelompok perlawanan Palestina agar menyerah.
“Seperti yang saya sampaikan… kebijakan Israel jelas: tidak ada bantuan kemanusiaan yang akan masuk ke Gaza. Mencegah masuknya bantuan adalah salah satu alat utama untuk mencegah Hamas memanfaatkannya terhadap penduduk,” kata Menteri Pertahanan Israel, Israel Katz, dalam pernyataan di platform X.
Ia menambahkan, “Dalam realitas saat ini, tidak ada pihak yang bersedia membawa bantuan ke Gaza.” Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, sebelumnya juga mengutarakan pandangan serupa.
Sementara itu, Menteri Keamanan Nasional Israel, Itamar Ben-Gvir, bahkan menyerukan penghancuran gudang makanan yang tersisa di Gaza serta fasilitas pembangkit listrik tenaga surya yang digunakan untuk penyulingan air.
Di tengah kondisi tersebut, muncul proposal baru gencatan senjata yang menambahkan satu syarat tambahan dari sebelumnya—yakni perlucutan senjata kelompok perlawanan Palestina.
“Proposal Israel yang disampaikan melalui Mesir secara eksplisit meminta perlucutan senjata Hamas dan faksi-faksi Palestina lainnya, tanpa ada komitmen dari Israel untuk mengakhiri perang atau menarik diri dari Gaza,” kata seorang sumber yang mengetahui isi pembicaraan di Kairo.
Belum ada tanggapan resmi dari pihak perlawanan Palestina terkait usulan tersebut. Namun, tokoh senior Hamas, Sami Abu Zuhri, menegaskan bahwa menyerahkan senjata adalah garis merah yang tidak dapat dinegosiasikan. “Menyerahkan senjata bukanlah sesuatu yang bisa dipertimbangkan, apalagi dibahas,” ujarnya.
Meski demikian, Abu Zuhri menyatakan bahwa Hamas siap membebaskan seluruh sandera Israel yang ditahan di Gaza dalam satu tahap, dengan syarat dihentikannya serangan militer Israel, penarikan penuh pasukan dari Gaza, masuknya kembali bantuan kemanusiaan, serta dimulainya proses rekonstruksi wilayah yang hancur.
Pihak Hamas menilai bahwa permintaan Israel soal perlucutan senjata dimaksudkan untuk memberi waktu lebih bagi Israel melanjutkan operasi militer. Selain itu, Israel ingin tampil di mata dunia seolah telah menawarkan solusi, sementara Hamas yang menolaknya.
Namun, Hamas meyakini bahwa jika mereka melepaskan senjata, maka tidak akan ada jaminan bahwa kekerasan akan berhenti. Mereka melihat langkah tersebut sebagai bagian dari rencana Israel dan Amerika Serikat untuk mengusir warga Palestina dari Gaza tanpa perlawanan.
Kelompok perlawanan Palestina menganggap hak untuk melawan pendudukan Israel, termasuk dengan senjata, merupakan hak yang diakui oleh hukum internasional. Mereka juga belajar dari pengalaman masa lalu, termasuk peristiwa tahun 1948, serta tragedi di kamp pengungsi Sabra dan Shatila di Lebanon, yang menunjukkan risiko besar ketika warga Palestina tak memiliki perlindungan bersenjata.
Melihat situasi di Tepi Barat, Hamas juga menyoroti bagaimana otoritas Palestina yang dipimpin Fatah tidak mampu mencegah tindakan sepihak oleh pemukim Israel, bahkan terhadap aparat resmi Palestina sendiri.
“Menyerah bukan pilihan bagi Hamas. Kami tidak akan membiarkan kehendak rakyat kami dipatahkan,” kata Abu Zuhri. “Hamas tidak akan menyerah, tidak akan mengibarkan bendera putih, dan akan terus menggunakan segala cara yang ada untuk menekan pendudukan Israel hingga berakhir dan Palestina merdeka.”
Penulis adalah seorang jurnalis yang tinggal di Gaza dan seorang spesialis dalam urusan Timur Tengah. Ia meraih gelar MA dalam jurnalisme internasional dari University of Westminster di London. Opini ini diambil dari tulisannya di Middle East Monitor.