Wednesday, April 16, 2025
HomeHeadlineOPINI - Tuan rumah tak lagi ramah: Netanyahu 'dipanggil', bukan diundang

OPINI – Tuan rumah tak lagi ramah: Netanyahu ‘dipanggil’, bukan diundang

Oleh: Ramzy Baroud

Kunjungan terbaru Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu ke Washington menimbulkan berbagai spekulasi. Sejumlah analis di Israel, kecuali sebagian kecil pendukung setianya, menilai bahwa kunjungan ini bukan undangan diplomatik biasa—melainkan bentuk pemanggilan oleh Presiden Amerika Serikat, Donald Trump.

Indikasi tersebut terlihat jelas. Biasanya, setiap kali Netanyahu melakukan perjalanan ke Amerika Serikat, media Israel menyorotnya secara besar-besaran. Ia kerap memanfaatkan momen itu sebagai kampanye pencitraan, memperkuat narasi bahwa dirinya memiliki hubungan erat dengan para pemimpin Amerika, serta sebagai simbol kekuatan dan pengaruh Israel di kancah global.

Namun kali ini, semua itu tampak absen.

Netanyahu menerima kabar pemanggilan tersebut saat sedang melakukan kunjungan resmi ke Hongaria. Di sana, ia disambut meriah oleh Presiden Viktor Orban. Sambutan tersebut dipandang sebagai bentuk perlawanan terhadap kritik internasional terhadap Netanyahu, yang kini berstatus sebagai tersangka kejahatan perang oleh Mahkamah Pidana Internasional (ICC). Sikap Orban tersebut menempatkan Netanyahu seolah bukan seorang pemimpin negara paria yang diasingkan.

Puncaknya adalah saat Hongaria mengumumkan pengunduran diri dari keanggotaan ICC. Langkah itu menimbulkan keprihatinan luas dan dinilai dapat membawa dampak serius bagi penegakan hukum internasional.

Netanyahu semestinya dapat menggunakan kunjungannya ke Washington untuk mengalihkan perhatian dari perang di Gaza yang dianggap gagal, serta berbagai krisis dalam negeri yang dihadapinya. Namun, seperti pepatah Arab, “Angin tidak selalu bertiup sesuai arah layar kapal.”

Menurut laporan media Israel, Netanyahu sempat mencoba menunda kunjungan tersebut dengan berbagai alasan, tetapi gagal. Ia tetap terbang ke Washington pada tanggal yang telah ditetapkan oleh Gedung Putih. Awalnya, dikabarkan tidak akan ada konferensi pers bersama, yang biasanya menjadi panggung bagi Netanyahu untuk menegaskan hubungan khusus Israel-AS dan mendapatkan dukungan atas kebijakan militernya.

Namun, konferensi pers akhirnya digelar. Dalam kesempatan itu, pernyataan Trump justru lebih mendominasi, disertai gaya bicara khasnya yang kerap kontradiktif. Netanyahu berbicara singkat dan berusaha mempertahankan gestur percaya diri seperti biasanya. Namun, bahasa tubuhnya kali ini berbeda.

Tatapan matanya tampak gelisah, tubuhnya kaku, dan ekspresinya menunjukkan keterkejutan—terutama ketika Trump mengumumkan bahwa Amerika Serikat dan Iran akan memulai pembicaraan langsung di Oman.

Trump juga menyinggung perlunya mengakhiri perang di Gaza. Namun, pengumuman mengenai Iran tampaknya benar-benar mengejutkan Netanyahu. Ia mencoba menyelaraskan pernyataannya dengan Trump, dengan menyebut proses perlucutan senjata Libya di bawah Muammar Gaddafi—yang sejatinya bukan bagian dari kebijakan resmi Israel terhadap kawasan.

Selama ini, Israel lebih mendorong agar Amerika Serikat melakukan intervensi militer terhadap Iran. Namun, langkah semacam itu berisiko memicu ketidakstabilan besar di kawasan, bahkan berpotensi menarik AS ke dalam konflik berkepanjangan seperti yang terjadi pada invasi Irak tahun 2003.

Perbedaan pandangan antara AS dan Israel juga tampak dari sikap sejumlah tokoh politik dan pemikir konservatif di lingkaran pemerintahan Trump. Dalam komunikasi yang bocor di platform terenkripsi Signal, Wakil Presiden JD Vance menyatakan bahwa eskalasi konflik di Yaman lebih menguntungkan Eropa dibanding Amerika Serikat. Ini menunjukkan pergeseran strategi Washington, yang kini tampak lebih fokus ke kawasan Indo-Pasifik dalam rangka menghadapi persaingan global, terutama dengan Tiongkok.

Tokoh konservatif seperti Tucker Carlson bahkan menyebut bahwa siapa pun yang mendorong konflik dengan Iran bukanlah sekutu AS, melainkan musuh.

Apakah Trump benar-benar akan menekan Netanyahu, masih menjadi tanda tanya. Di satu sisi, ia menyerukan diakhirinya perang di Gaza, namun di sisi lain juga mengutarakan gagasan kontroversial seperti pengusiran warga Palestina.

Yang jelas, tekanan untuk mengakhiri konflik di Gaza kini menjadi bagian dari strategi regional AS yang lebih luas, termasuk kaitannya dengan konflik di Yaman, Lebanon, dan hubungan dengan Iran. Stabilitas kawasan dibutuhkan AS untuk mempersiapkan diri menghadapi tantangan ekonomi dan militer global ke depan.

Jika Trump berhasil melakukan apa yang tidak bisa dilakukan oleh presiden-presiden sebelumnya—yakni menekan Israel agar mengikuti kebijakan luar negeri AS—maka Netanyahu akan berada dalam posisi yang sulit. Sebuah peristiwa langka dalam sejarah modern, di mana Israel mendengarkan dan mengikuti arahan dari Washington.

Pada 2015, Netanyahu pernah menunjukkan besarnya pengaruh Israel di dalam politik AS, ketika ia berbicara di hadapan Kongres dan menerima tepuk tangan dari kedua partai. Namun, jika ia berharap bisa mengulang momen tersebut, besar kemungkinan ia keliru.

Saat ini, Netanyahu menghadapi krisis legitimasi. Ia dinilai gagal memimpin, baik secara politik maupun militer. Strateginya dianggap tidak jelas, dan ia tidak mampu memberikan hasil konkret bagi Israel.

Kini, semuanya bergantung pada seberapa jauh Trump bersedia bertindak. Bila tekanan AS benar-benar dilakukan secara berkelanjutan, bukan tidak mungkin Netanyahu akan tunduk. Apakah hal yang selama ini dianggap mustahil akhirnya akan terjadi? Waktu yang akan menjawab.

Ramzy Baroud adalah seorang jurnalis dan Editor Palestine Chronicle. Ia adalah penulis lima buku. Buku terbarunya adalah ‘These Chains Will Be Broken: Palestinian Stories of Struggle and Defiance in Israeli Prisons’ (Clarity Press). Baroud adalah Peneliti Senior Nonresiden di Center for Islam and Global Affairs (CIGA) dan juga di Afro-Middle East Center (AMEC). Situs webnya adalah www.ramzybaroud.net. Opini diambil dari tulisannya di Middle East Monitor.

Pizaro Idrus
Pizaro Idrus
Kandidat PhD bidang Hubungan Internasional Universitas Sains Malaysia. Peneliti Asia Middle East Center for Research and Dialogue
ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular