Otoritas Palestina menunjukkan keseriusan dalam merebut kendali atas Jalur Gaza dari Hamas, bahkan jika itu berarti harus bertempur, lansir Middle East Eye.
Dalam pertemuan dengan utusan Timur Tengah Presiden Donald Trump, Steve Witkoff, yang digelar di Riyadh pada 30 Januari 2025, PA menyampaikan bahwa mereka siap melakukan aksi keras, bila itu diperlukan, untuk menguasai Gaza.
Rencana tersebut dirumuskan oleh Hussein al-Sheikh, seorang pejabat senior PA yang juga disebut-sebut sebagai calon pengganti Presiden Palestina Mahmoud Abbas.
Ia berencana mendirikan sebuah komite yang akan memimpin Gaza, yang mayoritas anggotanya berasal dari luar wilayah tersebut.
Ziad Abu Amr, tokoh kunci
Ziad Abu Amr, seorang mantan wakil perdana menteri Palestina, menjadi tokoh sentral dalam skema ini.
Abu Amr, yang dikenal karena kedekatannya dengan AS dan pengalamannya dalam pemerintahan PA, diproyeksikan akan memimpin komite tersebut.
Ia dianggap sebagai tokoh yang relatif dapat diterima oleh administrasi Trump, mengingat latar belakangnya yang juga memiliki kewarganegaraan AS.
Abu Amr aktif berupaya mengembalikan otoritas Palestina (PA) di Gaza. Sebelumnya, ia juga sempat menentang pendanaan untuk rekonstruksi Gaza setelah perang 2014.
“Ketika orang membicarakan soal rekonstruksi, mereka sebenarnya berbicara tentang kembalinya PA ke Gaza dan Gaza yang dikelola oleh pemerintah rekonsiliasi… Saya rasa, tanpa itu, rekonstruksi tidak akan berjalan,” kata Abu Amr kepada Wall Street Journal kala itu.
Tahani Mustafa, analis senior Palestina dari International Crisis Group, menyebut serangan tersebut sebagai “misi bunuh diri” dan upaya terakhir untuk menunjukkan bahwa PA masih dapat menunjukkan kekuatan militer.
“PA khawatir bahwa jika ada pemerintahan baru di Gaza yang bukan mereka, seluruh dana mereka akan dialihkan. Ketakutan terbesar mereka adalah bahwa pusat gravitasi politik akan bergeser dari Tepi Barat ke Gaza dan meninggalkan mereka dalam posisi terjepit,” kata Mustafa sebelumnya kepada MEE.
Kepemimpinan Ramallah yang semakin menua dan kaku berada di tengah rencana pemerintahan pasca-perang Gaza yang digagas oleh pemerintahan Biden, namun Trump hampir tidak menyebutkan PA.
Faktanya, Trump menunjukkan sedikit minat langsung terhadap Gaza, yang ia sebut sebagai “situs pembongkaran yang sesungguhnya saat ini”.
Ia juga menyarankan agar Yordania dan Mesir menerima para pengungsi Palestina dari Gaza, dengan mengatakan, “Kita hanya bersihkan seluruhnya.
PA terjepit antara Arab Saudi dan UAE
Selama masa jabatan pertamanya, Trump merendahkan hubungan diplomatik dengan PA dengan menutup konsulat AS untuk Palestina di Yerusalem dan juga menutup kantor Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) di Washington DC. PLO adalah koalisi kelompok Palestina yang dipimpin oleh PA.
Menantu Trump yang juga penasihatnya, Jared Kushner, sangat membenci PA dan berusaha menghalangi kerja sama AS dengan otoritas tersebut. Ketegangan tersebut mencapai puncaknya ketika Trump memotong bantuan untuk PA. Kushner bahkan mengajukan proposal agar Palestina dipaksa untuk dipindahkan dari Jalur Gaza pada Maret 2024.
Seorang mantan pejabat senior AS sebelumnya mengatakan kepada MEE bahwa PA kemungkinan akan menghadapi tantangan besar dalam mendapatkan dukungan dari pemerintahan Trump. Gaza telah memberikan kesempatan bagi kritik utama PA dari Teluk Arab, yaitu UAE, untuk mendorong perubahan kepemimpinan Palestina. UAE menyatakan siap mengirim pasukan penjaga perdamaian ke Gaza jika PA direformasi tanpa Abbas.
Seorang pejabat Mesir sebelumnya mengatakan kepada MEE bahwa Abbas sangat “marah” dengan proposal tersebut.
Di dalam kalangan elit sekuler Palestina, ada perpecahan antara Abbas, yang telah memerintah di Tepi Barat tanpa pemilu sejak 2006, dan mantan tokoh kuat Fatah di Gaza, Mohammed Dahlan.
Dahlan yang kini tinggal di UAE adalah utusan untuk keluarga penguasa al-Nahyan di UAE. Dahlan diusir dari Fatah namun masih mendapat dukungan di Gaza dan Tepi Barat yang diduduki melalui Fatah-Democratic Reform Bloc.
Arab Saudi bisa menjadi kunci untuk masa depan Jalur Gaza. Selain memiliki dana untuk merekonstruksi wilayah tersebut, Saudi lebih bersikap netral dalam berhubungan dengan berbagai faksi Palestina, berbeda dengan UAE.
Bersama dengan UAE dan Bahrain, Saudi awalnya bersikap hostile terhadap Hamas selama Musim Semi Arab, namun kini lebih bersikap kooperatif.
Putra Mahkota Arab Saudi, Mohammed bin Salman, secara terbuka menyatakan bahwa Israel telah melakukan genosida di Gaza, sementara Menteri Luar Negeri UAE secara terbuka telah menjamu rekannya dari Israel. Sebelum 7 Oktober 2023, Riyadh menjadi tuan rumah kunjungan pemimpin Hamas, Ismail Haniyeh, yang kemudian dibunuh Israel pada Juli 2024.