Pendapat para analis politik berbeda mengenai keputusan Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu untuk menghentikan masuknya barang dan pasokan ke Gaza serta menutup perbatasan dengan wilayah tersebut.
Namun, ada kesepakatan umum bahwa Tel Aviv menginginkan kesepakatan baru yang menghilangkan substansi perjanjian Januari lalu.
Akademisi dan pakar urusan Israel, Muhannad Mustafa, menegaskan bahwa Israel telah melakukan hukuman kolektif terhadap rakyat Palestina.
Hukuman itu diberikan sejak gencatan senjata, dengan terus mengancam akan “membuka kekacauan di Gaza” serta berupaya mengubah ketentuan perjanjian.
Menurut Mustafa dalam program “Masar al-Ahdath”, Israel menggunakan ancaman untuk melanjutkan perang serta menghentikan masuknya bantuan kemanusiaan seperti tenda, rumah sementara, dan bantuan medis yang membantu penduduk bertahan hidup.
Keputusan Netanyahu—yang dianggap oleh Hamas sebagai pengingkaran terhadap perjanjian—diambil setelah ia menghambat negosiasi tahap kedua, yang seharusnya dimulai pada hari ke-16 dari tahap pertama perjanjian (3 Februari lalu).
“Penghentian masuknya bantuan ke Gaza adalah bagian dari tahap awal untuk menekan Hamas, dan eskalasi lebih lanjut mungkin terjadi pekan depan,” demikian menurut laporan dari badan penyiaran Israel.
Terkait perbedaan pendapat antara Netanyahu dan badan keamanan Israel, Mustafa mengatakan bahwa ketegangan ini telah berlangsung selama berbulan-bulan.
“Netanyahu khawatir pemerintahannya runtuh dan ingin bertahan hingga masa jabatan resminya berakhir pada Oktober 2026,” katanya sambil menekankan bahwa itu merupakan alasan politik internal.
Selain itu, katanya, Netanyahu menolak perjanjian saat ini karena tidak mencapai tujuan perang Israel.
Tujuan tersebut mencakup melucuti senjata perlawanan, mengakhiri pemerintahan Hamas, dan mengusir para pemimpinnya dari Gaza untuk menghapus kegagalan Israel pada 7 Oktober 2023.
Para pendukung perjanjian berpendapat bahwa menetapkan syarat politik seperti perlucutan senjata Hamas dan pengusiran pemimpinnya tidak masuk akal. Menurut mereka, Hamas tidak akan menerimanya.
Mereka juga menilai bahwa Netanyahu tidak ingin tahap kedua dari perjanjian berhasil.
Menurut Mustafa, logika perjanjian saat ini adalah bahwa tahap kedua harus menguntungkan kedua belah pihak.
“Israel ingin mengembalikan semua sandera mereka, sementara Hamas ingin menghentikan perang,” ujarnya.
Namun, lanjutnya, Netanyahu menginginkan kerangka negosiasi baru dengan memperpanjang tahap pertama atau masuk ke tahap kedua dengan persyaratan politik.
Kelaparan sebagai senjata
Sementara itu, penulis dan analis politik Iyad Al-Qara menekankan bahwa dampak keputusan Netanyahu langsung terasa. Menurutnya, Gaza mengalami penderitaan yang sangat nyata di jalanan.
Menurut Al-Qara, Israel ingin kembali ke kebijakan pasca-November 2023, ketika mereka mulai menggunakan kelaparan sebagai senjata terhadap penduduk Gaza. Saat ini, Israel menerapkan tekanan serupa.
Badan penyiaran Israel mengutip orang-orang dekat Netanyahu yang menyebut bahwa Netanyahu percaya bahwa kembali berperang dalam waktu singkat dapat memberi tekanan pada Hamas.
Mereka juga menegaskan bahwa akan ada perubahan dalam cara pertempuran di bawah kepemimpinan Kepala Staf baru, Eyal Zamir.
Menurut sumber tersebut, Netanyahu tidak yakin bahwa tahap kedua dari perjanjian dapat diterapkan.
Al-Qara mengatakan bahwa Hamas memiliki beberapa opsi, termasuk tetap berpegang pada sikap mereka untuk tidak memperpanjang tahap pertama. Opsi lain, Hamas mengelola kasus para sandera Israel, yang kini berjumlah 59 orang.
Ia menyebut bahwa kasus ini merupakan “kartu tekanan kuat” bagi Hamas terhadap Israel dan masyarakatnya.
Selain itu, Hamas akan berusaha menekan para mediator untuk menghentikan taktik Israel yang terus mengulur waktu.
Terutama karena tahap pertama tidak mencakup implementasi protokol kemanusiaan atau penarikan pasukan Israel yang jelas.
Al-Qara menggambarkan situasi saat ini sebagai “pertarungan ketahanan”. Terutama, karena Netanyahu ingin mengembalikan para sandera.
“Sebagai imbalaan atas langkah-langkah terbatas yang akan mengosongkan perjanjian dari maknanya, hanya agar koalisinya tetap bertahan,” lanjutnya.
Menaikkan taruhan
Sementara itu, Thomas Warrick, mantan pejabat Kementerian Luar Negeri AS untuk Timur Tengah, menyatakan keyakinannya bahwa situasi saat ini sangat berbeda dari atmosfer perjanjian Januari.
Ia percaya bahwa Netanyahu ingin kesepakatan yang berbeda dan berharap dapat memperpanjang tahap pertama, yang akan menjadi tantangan bagi Hamas.
Meskipun mengakui bahwa perjanjian Januari tidak menyerukan penghentian bantuan makanan, Warrick berpendapat bahwa tindakan Israel saat ini bukanlah hukuman kolektif bagi warga Gaza.
Ia menegaskan bahwa pemerintah Israel sedang mencoba untuk menegosiasikan perjanjian yang berbeda dari yang ditandatangani pada Januari lalu.
Menurutnya, Israel sedang menaikkan tuntutan mereka sebelum utusan Presiden AS Donald Trump untuk Timur Tengah, Steven Witkoff, tiba di kawasan tersebut.
Pada 19 Januari lalu, gencatan senjata di Gaza dimulai sebagai bagian dari perjanjian pertukaran sandera antara Hamas dan Israel.
Kesepakatan ini terdiri dari tiga tahap, masing-masing berlangsung selama 42 hari, dengan mediasi dari Mesir dan Qatar serta dukungan dari AS.