Langkah Amerika Serikat yang menggelar pembicaraan langsung dengan kelompok Hamas dan menghasilkan kesepakatan pembebasan tahanan berkewarganegaraan ganda Israel-Amerika, Idan Alexander, mengejutkan Israel.
Kesepakatan ini mengingatkan kembali pada pola serupa dalam perjanjian antara AS dan kelompok Houthi di Yaman, yang juga merupakan aktor non-negara. Dalam kedua kasus tersebut, AS menegosiasikan kepentingannya sendiri: di Yaman untuk menjamin keamanan jalur pelayaran, dan di Gaza untuk membebaskan warganya yang ditahan oleh Hamas.
Namun, dalam dua kesepakatan itu, kepentingan Israel dikesampingkan. Dalam kasus Houthi, tak ada jaminan penghentian serangan ke arah Israel atau kebebasan berlayar bagi kapal Israel. Sementara dalam kesepakatan dengan Hamas, tidak ada pembebasan tambahan bagi sandera Israel lainnya, namun mencakup pengiriman bantuan kemanusiaan ke Gaza.
Perjanjian ini bukan satu-satunya indikasi bahwa Washington mulai mengutamakan kepentingannya sendiri di Timur Tengah, bahkan bila itu bertentangan dengan sekutunya, Israel.
Sebelumnya, telah muncul sinyal dari dimulainya kembali pembicaraan antara AS dan Iran, serta kebijakan AS terkait konflik di Suriah, termasuk kecenderungan mantan Presiden Donald Trump mendukung peran Turki ketimbang Israel di wilayah tersebut.
Israel selama ini menganggap bahwa kepentingannya akan selalu berjalan sejajar dengan kepentingan Amerika Serikat. Namun, kenyataannya berbeda: AS kini terlihat menomorsatukan tujuannya sendiri, meskipun harus mengorbankan koordinasi dengan Tel Aviv.
Yang membuat situasi semakin pelik bagi Israel adalah fakta bahwa ini bukan kali pertama AS bernegosiasi langsung dengan Hamas. Pada kesempatan sebelumnya, utusan AS untuk urusan sandera, Adam Boehler, juga sempat menjalin kontak dengan kelompok tersebut.
Saat itu, Israel sudah menyatakan ketidakpuasannya dan berupaya menggagalkan pembicaraan. Israel mengira kejadian serupa tak akan terulang lagi, apalagi setelah Boehler meninggalkan jabatannya.
Namun kini, kesepakatan kembali tercapai di luar sepengetahuan dan koordinasi Israel. Secara strategis, perjanjian ini memiliki potensi besar untuk mengubah dinamika konflik di Gaza. Apalagi, pemerintah Israel masih menolak usulan gencatan senjata yang tidak sesuai dengan syarat-syaratnya, yakni penghentian perang tanpa syarat serta pembebasan sandera secara parsial.
Kesepakatan ini juga menggerus efektivitas kebijakan “senjata kelaparan” yang digunakan Israel untuk menekan Hamas agar menerima kesepakatan berdasarkan syarat Tel Aviv.
Upaya itu, yang mencakup blokade bantuan dan operasi militer berskala besar seperti “Pedang dan Keberanian” yang diluncurkan sejak Maret, belum berhasil membebaskan satu pun sandera melalui tekanan militer.
Situasi ini menunjukkan bahwa strategi Israel telah mencapai jalan buntu. Gagalnya tekanan militer dan kemanusiaan untuk memaksa Hamas tunduk justru dikalahkan oleh jalur diplomatik langsung AS, yang berhasil mengamankan pembebasan warganya.
Kegagalan ini juga dapat memperdalam krisis internal di pemerintahan Israel, memperlemah posisi Perdana Menteri Benjamin Netanyahu, dan mendorong tekanan internasional—terutama dari AS—untuk mulai membuka pembicaraan damai atau gencatan senjata yang nyata.
Meski keputusan AS membuka jalur diplomasi ini disebut-sebut bermotif politik dalam negeri, menjelang kunjungan Presiden Trump ke kawasan, namun juga mencerminkan kenyataan bahwa Israel telah mencapai batas efektivitas tekanannya terhadap Gaza.
Apalagi, meningkatnya krisis kemanusiaan menempatkan tekanan besar pada komunitas internasional, termasuk AS sendiri, untuk mengambil tindakan.
Selain itu, retorika pejabat Israel yang menyebut strategi kelaparan sebagai alat moral juga menimbulkan kritik keras di dunia internasional. Israel mulai dipandang sebagai kekuatan destruktif yang abai terhadap hukum internasional dan nilai-nilai kemanusiaan.
Netanyahu kini menghadapi dilema. Ia tak memiliki banyak pengaruh terhadap Presiden Trump, satu-satunya presiden Republik yang pernah ia harapkan dapat mendukungnya tanpa syarat, berbeda dengan para presiden Demokrat sebelumnya.
Pilihan yang tersedia baginya terbatas: menyetujui gencatan senjata dan menghadapi risiko runtuhnya koalisi pemerintahan, atau terus melanjutkan operasi militer dan berisiko berbenturan langsung dengan pemerintahan AS yang kini lebih pragmatis.
Langkah kompromi yang mungkin ditempuh adalah kembali mengusulkan formula awal, yaitu pembebasan lima sandera hidup sebagai imbalan untuk gencatan senjata sementara, sembari membuka jalur pembicaraan soal masa depan politik Gaza.
Bila berhasil, Netanyahu bisa membeli waktu untuk mempertahankan pemerintahannya, tanpa perlu memperluas konflik yang semakin tidak populer di dalam dan luar negeri.