Saturday, December 21, 2024
HomeBeritaLAPORAN KHUSUS: 11 bukti ekonomi Israel babak belur dampak jajah Palestina

LAPORAN KHUSUS: 11 bukti ekonomi Israel babak belur dampak jajah Palestina

Oleh: Saleh Heringguhir

Akhir September lalu, Menteri Keuangan Israel Bezalel Smotrich pernah sesumbar soal kuatnya negeri penjajah itu kendati ekonominya terpengaruh setelah setahun lebih terus menggempur Gaza, Palestina. Pemimpin Partai Zionisme Agama (Tkuma) Israel itu menyebut ekonomi negara itu memang tertekan, tapi tangguh.

“Ekonomi Israel menanggung beban perang terpanjang dan termahal dalam sejarah negara ini,” kata Smotrich dilansir The Times of Israel, 28 September. “Ekonomi Israel adalah ekonomi yang kuat, bahkan saat ini [mampu] menarik investasi,” tegasnya.

Pernyataan pria kelahiran 1980 ini keluar setelah sehari sebelumnya lembaga pemeringkat global, Moody’s Ratings, untuk kedua kalinya di tahun ini menurunkan peringkat kredit (rating) Israel, dari A2 menjadi Baa1.

Penurunan kredit dua level itu terjadi di tengah meningkatnya intensitas yang meluas antara Israel dengan kelompok pejuang Hizbullah, Lebanon, bersamaan dengan belum kelarnya perang kepada Hamas setelah Operasi Taufan Al-Aqsa yang dilancarkan kelompok perlawanan Palestina itu di Jalur Gaza, 7 Oktober setahun lalu.

Moody’s pertama kali memangkas rating Israel pada awal Februari 2024 yang kemudian diikuti dua lembaga pemeringkat global lainnya yakni S&P Global Ratings pada April dan Fitch Ratings pada 12 Agustus. Pada 8 November, S&P juga kembali menurunkan rating Israel dari A+ menjadi A, dengan prospek negatif, mengikuti Moody’s.

Data perbandingan rating tiga lembaga pemeringkat global, sumber: Streetfins

Penurunan rating Israel oleh tiga lembaga rating global sekaligus ini bukan sesuatu yang mengagetkan karena sudah jelas dan sesuai prediksi, mengingat tingginya risiko geopolitik.

Penurunan rating punya dua konsekuensi. Pertama, Israel akan terbebani dengan beban bunga (cost of fund) atau imbal hasil (yield) lebih tinggi ketika menarik pinjaman atau menerbitkan surat utang (obligasi) untuk membiayai defisit karena perang. Kedua, penurunan rating membuat investor khawatir karena risiko investasi jadi lebih tinggi di negara zionis itu. “Kami menilai, konflik di Gaza bisa berlangsung hingga 2025 dan berisiko meluas ke front lain,” tulis Fitch, 12 Agustus lalu.

Namun penurunan rating ini nyatanya tak membuat Perdana Menteri (PM) Israel Benjamin Netanyahu panik. Dia yakin rating Israel akan naik lagi setelah perang dimenangkan. “Ekonomi Israel kuat dan berfungsi dengan sangat baik,” tegasnya, dilansir USNews, 12 Agustus.

Rating Israel memang turun, tapi sebetulnya level tersebut masih kategori layak investasi (investment grade). Rating Indonesia dari Moody’s juga satu tingkat di atas investment grade yakni Baa2 per 16 April lalu. Bandingkan dengan Lebanon yang mendapat rating restricted default alias gagal bayar terbatas dan Iran yang belum memiliki rating kredit lebih dari 16 tahun terakhir sejak 2008.

“Penurunan rating setelah perang dan risiko geopolitik yang ditimbulkannya adalah wajar,” kata Menkeu Israel Smotrich di platform X.

Meski status Israel masih layak investasi, tapi penurunan rating ini secara umum turut melegitimasi koreksi ekonomi yang dialami Israel setelah setahun serangan ke Gaza.

Setidaknya ada beberapa poin yang bisa dielaborasi untuk menggambarkan bahwa perekonomian Israel sedang tidak baik-baik saja.

  1. Pertumbuhan Ekonomi Anjlok

Laju ekonomi Israel mulai turun pada 2023 karena tumbuh hanya 2%, terlemah sejak 2020 karena konflik yang berlangsung dengan Hamas berdampak parah terhadap aktivitas ekonomi.

Padahal pada 2022, pertumbuhan PDB mencapai 6,5% bahkan sempat naik signifikan 8,6% di 2021. Ekonomi Israel pernah terkoreksi parah saat pandemi 2020, minus 1,9%.

Tahun ini, Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi atau Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) memperkirakan ekonomi Israel hanya tumbuh 0,6%, turun dari proyeksi Mei lalu 1,9%.

Sumber: OECD

OECD juga memprediksi ekonomi Israel tahun depan hanya tumbuh 2,4%, lebih rendah dari perkiraan Bank of Israel 3,8% dan Kementerian Keuangan Israel 4,4%. Namun pertumbuhan PDB Israel bisa naik 4,6% pada tahun 2026. Faktor utama proyeksi itu adalah tingginya pengeluaran anggaran militer dan tingkat konsumsi swasta yang stagnan.

“Setelah sempat pulih cepat dari tekanan seusai peristiwa 7 Oktober 2023, tingkat konsumsi swasta tumbuh melambat, dengan keyakinan konsumen tetap melemah di Oktober 2024,” tulis OECD dalam laporan outlook, 4 Desember.

S&P juga menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi Israel lebih rendah lagi tahun ini yakni 0% dan tahun depan 2,2%. Penurunan ini kombinasi melebarnya defisit fiskal dan beban anggaran pertahanan yang terus bengkak akibat perang Israel melawan Hamas, Hizbullah, dan kelompok proksi Iran. 

  1. Kerugian Perang

Menurut perkiraan Bank of Israel, dilansir CNN, perang Israel diperkirakan menelan lebih dari NIS (New Israeli Shekel) 250 miliar (US$66 miliar) atau setara Rp1.023 trliiun (kurs Rp15.500/US$) untuk biaya pertahanan dan sipil antara 2023 hingga 2025. Nilai ini setara dengan sekitar 12% PDB Israel yang sekitar US$510 miliar di 2023.

Bujet ribuan triliun itu untuk pengeluaran militer dan biaya sipil, seperti perumahan bagi ribuan warga Israel yang terpaksa meninggalkan rumah mereka di utara dan selatan.

Menurut media Turki, Hürriyet Daily News, dilansir The Worker News, perang itu membuat Israel merugi US$133 juta atau Rp2 triliun per hari, termasuk pengeluaran perumahan karena banyaknya pengungsi yang meninggalkan perbatasan utara, efek serangan Hizbullah.

Di Gaza, serangan Israel sejak 7 Oktober tahun lalu ke wilayah itu menewaskan lebih dari 40.000 orang dari Palestina, sementara serangan Hamas ke komunitas selatan Israel menewaskan sekitar 1.200 orang.

Pengeluaran biaya perang Israel tampaknya akan terus meningkat karena konflik meluas ke Iran dan proksinya, serta Hizbullah di Libanon, yang memicu bengkaknya biaya pertahanan dan membuat rencana warga mereka kembali ke utara negara itu tertunda. Libanon berbatasan langsung dengan Israel di utara.

Biaya ini juga belum dihitung dengan agresi Israel ke Suriah ketika mereka menyerang Damaskus pada Minggu (8/12), di hari yang sama saat pemberontak menggulingkan Presiden Suriah Bashar al-Assad. Suriah berbatasan dengan Israel sebelah timur laut.

Pada 28 Oktober tahun lalu, lembaga kebijakan publik RAND Corporation merilis laporan dampak ekonomi perang Israel yang ditaksir merugikan negara zionis itu hingga US$400 miliar atau sekitar Rp6.200 triliun dalam 10 tahun ke depan.

Sebanyak 90% kerugian ini berasal dari dampak tak langsung seperti turunnya investasi, pertumbuhan ekonomi dan produktivitas melambat, serta gangguan pasar tenaga kerja.

  1. Defisit Anggaran

Salah satu dampak dari tingginya anggaran pertahanan membuat Israel mengalami defisit anggaran cukup lebar. Defisit anggaran, artinya pengeluaran (expense) di APBN lebih besar dari pendapatan (revenue).

Pada 12 Agustus lalu, Fitch Ratings sudah memberikan outlook negatif untuk Israel dan memprediksi defisit anggarannya bisa mencapai 7,8% dari PDB tahun ini, setelah tahun lalu defisit 4,1%. “Tahun depan, kami memproyeksikan defisit anggaran bisa 4,6% dari PDB, karena belanja militer lebih rendah dan pendapatan berpotensi naik, meskipun [defisit] bisa lebih besar jika perang berlanjut di 2025,” tulis Fitch, 12 Agustus lalu.

Fitch juga memperkirakan Israel juga akan mengerek belanja militer hampir 1,5% dari PDB dari posisi sebelum perang. Per Juli 2024, defisit anggaran Israel sudah mencapai 8,1% dari PDB, tapi Menkeu Israel Smotrich meyakini defisit di akhir tahun ini bakal kembali mendekati target awal yakni hanya 6,6% dari PDB 2024.

Faktanya, menurut data The Institute for National Security Studies (INSS), defisit tahunan per September 2024 mencapai 8.5% PDB, bengkak dari target awal 6,6%, dengan rasio utang terhadap PDB mencapai 67%. Tahun lalu, PDB Israel sebesar US$510 miliar atau setara Rp7.905 triliun.

Pemerintah menargetkan bisa mengendalikan defisit anggaran tahun depan dengan pagu defisit ditetapkan sebesar 4,3% dari PDB. Tahun 2025, pagu anggaran belanja Israel sebesar NIS 607 miliar atau setara Rp2.686 triliun. Sebagai perbandingan, total belanja Indonesia di APBN 2025 yang sudah diketok DPR yakni Rp3.621,3 triliun, dengan defisit APBN 2025 ditetapkan 2,53% dari PDB.

State Budget atau Anggaran Belanja Negara Israel

Tahun Jumlah (NIS Miliar) Defisit Anggaran
2021 NIS 432,3 M/Rp1.913 T 6,8% PDB
2022 NIS 452,5 Miliar/Rp2.002 T 3,9% PDB
2023 NIS 484 Miliar/Rp2.002 T 4,2% PDB
2024 NIS 514 Miliar/Rp2.274 T 8.5% PDB
2025 NIS 607 Miliar/Rp2.686 T 4,3% PDB

Sumber: Diolah, INSS, 1 NIS setara dengan Rp4.425

 

Sebelum Parlemen Israel, Knesset, mengetok anggaran pada 1 November lalu, anggaran belanja tahun 2025 sebesar NIS 607 miliar itu mencakup peningkatan besar-besaran anggaran Kementerian Pertahanan yang mencapai NIS 102 miliar (US$27,2 miliar). Jumlah ini berpotensi naik hingga NIS 150 miliar (US$40,1 miliar) dengan rencana memangkas anggaran kesehatan, pendidikan, dan layanan sosial.

“Kita tak bisa memiliki tentara yang kuat kalau tidak punya cara membiayainya. Tapi sektor ekonomi juga bergantung pada keamanan. Kalau ada potensi [ancaman keamanan] yang bisa merusak kota-kota dan industri kita, maka jelas ekonomi kita akan terpengaruh,” tegas Netanyahu di depan parlemen, 31 Oktober, dilansir The Times of Israel.

“Upaya ekonomi adalah bagian yang tak terpisahkan dari upaya perang,” kata Menkeu Israel Smotrich. Setelah kami memenangi perang, hasilnya akan fantastis bagi ekonomi [Israel].”

  1. Rasio Utang Bengkak

Mengacu pada catatan CeicData PDB Israel tahun lalu sebesar US$510 miliar atau setara Rp7.905 triliun, turun 3% dari PDB 2022 sebesar US$525 miliar. Sementara itu, jumlah total utang pemerintah Israel mencapai US$311 miliar atau setara Rp4.817 triliun di Desember 2023. Jumlah utang itu naik 5% dari tahun sebelumnya US$294,7 miliar. Dengan demikian rasio utang Israel ke PDB di tahun lalu sudah mencapai 60%.

Sumber: CEICDATA

Tahun ini, rasio utang bisa meningkat lagi menjadi 68% dari PDB mengacu data IMF. “Selama perang terus berlanjut, metrik utang negara akan terus memburuk,” kata Sergey Dergachev, manajer portofolio di perusahaan investasi asal Jerman, Union Investment, dilansir Reuters dan The Times of Israel.

“Bahkan jika Israel didukung basis ekonomi yang relatif baik, tetap saja dari sisi kebijakan fiskal akan menyakitkan,” kata Dergachev.

  1. Investasi Anjlok

Salah satu parameter dalam melihat ekonomi ialah investasi di negara tersebut, termasuk investasi asing langsung alias foreign direct investment (FDI). Investasi punya hubungan positif dengan PDB atau pendapatan nasional, bila nilainya naik, maka PDB juga naik, begitu pun sebaliknya.

UN Trade and Development (UNCTAD) melaporkan, investasi langsung ke Israel di 2023 turun 29% menjadi US$16,42 miliar atau setara Rp255 triliun dari tahun sebelumnya US$23,03 miliar.

Meski demikian angka FDI ini sebetulnya masih tinggi dari beberapa tahun lalu, misalnya di 2016 hanya US$11,99 miliar atau 2014 sebesar US$6,05 miliar.

Penurunan investasi langsung ini tak ayal membuat PDB Israel pun turun tahun lalu menjadi US$510 miliar atau setara Rp7.905 triliun, dari tahun 2022 sebesar US$525 miliar. Menurut data resmi Bank Dunia. Ekonomi Israel itu mencakup 0,48% dari ekonomi dunia.

Sebagai perbandingan, FDI Indonesia tahun 2023 sebagaimana dilaporkan dalam ASEAN Investment Report 2024, mencapai mencapai US$21,6 miliar.

Sumber: UNCTAD

  1. Bank Investasi Kurangi Pembelian Obligasi Israel

Salah satu cara Israel menutup defisit anggaran untuk membiayai ekonomi ialah dengan menerbitkan obligasi atau surat utang negara. Di Indonesia, sama seperti Surat Utang Negara (SUN), surat berharga yang dijual ke pasar global dengan memberikan persentase yield (imbal hasil) untuk tenor tertentu kepada para investor pembeli obligasi itu.

Pada 1950, untuk pertama kalinya Israel menerbitkan Obligasi Israel (Israel Bond) yang diterbitkan lewat penjamin emisi (underwriter) Development Corporation for Israel (DCI), perusahaan sekuritas yang berbasis di New York.

Beberapa dealer utama penjualan utang Israel, termasuk obligasi ini adalah Barclays, Goldman Sachs, JPMorgan Chase, dan Deutsche Bank.

Pada Agustus lalu, menurut sumber Financial Times (FT), Barclays berencana menghindari penjualan Obligasi Israel karena pertimbangan protes terkait tekanan para aktivis pro-Palestina. Barclays menjadi pembeli Obligasi Israel paling aktif ketiga dalam lelang di antara 12 dealer utama tahun lalu, menurut statistik resmi. Namun, peringkatnya turun ke-11 dalam tiga bulan hingga akhir Juni 2024.

Sebelumnya Israel sudah menjual utang senilai miliaran dolar, termasuk penjualan obligasi senilai US$8 miliar pada Maret 2024, untuk membantu membiayai defisit pemerintah yang semakin lebar akibat perang dengan Hamas.

FT melaporkan bank asal Inggris itu mendapat tekanan dari para aktivis pro-Palestina, yang menyerukan boikot terhadap bank itu atas dugaan investasi di perusahaan pertahanan yang memasok senjata untuk militer Israel. Sejumlah cabang Barclays di seluruh Inggris menjadi sasaran pengunjuk rasa.

Sayangnya, beberapa investor yang memang pro-Israel dan beberapa pemerintah negara bagian AS meningkatkan pembelian obligasi Israel sebagai tanda dukungan. Hal yang sudah menjadi rahasia umum mengapa AS terus mendukung Israel.

  1. Ramai-ramai Jual Saham Perusahaan Israel

Beberapa perusahaan keuangan global terbesar di Eropa diketahui mulai mengurangi hubungan dengan perusahaan Israel atau yang terafiliasi dengan negara Zionis itu guna berakhirnya konflik di Gaza. Sumber Reuters mencatat, salah satu bank terbesar dunia asal Italia, UniCredit, menempatkan Israel dalam daftar “terlarang” alias blacklist untuk investasi sejak konflik di Gaza meningkat Oktober tahun lalu.

Tak hanya bank, tapi perusahaan manajemen investasi, dana pensiun, dana kekayaan negara (sovereign wealth fund/SWF) global juga ikut melepas kepemilikan saham di perusahaan-perusahaan Israel.

Misalnya, perusahaan manajemen aset Norwegia, Storebrand dan perusahaan asuransi Prancis, AXA, menjual saham beberapa perusahaan Israel, termasuk bank. Storebrand bahkan menjual kepemilikan saham sekitar US$24 juta di Palantir, perusahaan software asal AS, dengan alasan Palantir menyediakan teknologi bagi militer Israel. Di akhir 2023, Storebrand mengeluarkan 24 perusahaan, termasuk perusahaan Israel, di semua portofolionya gara-gara pendudukan wilayah Palestina.

AXA, menurut studi firma riset Profundo, juga menjual hampir semua kepemilikannya di saham bank-bank Israel awal tahun ini, hanya mempertahankan sebagian kecil saham di Bank Leumi.

SWF Irlandia, yakni The Ireland Strategic Investment Fund (ISIF), yang mengelola dana global 15 miliar euro, juga keluar dari enam perusahaan Israel dengan menjual saham sebanyak 3 juta euro (US$3,26 juta), termasuk beberapa saham bank terbesar di Israel.

Norges Bank Investment Management (NBIM), SWF asal Norwegia yang mengelola dana US$1,8 triliun, terbesar di dunia, berpotensi mengambil kebijakan investasi serupa dengan ISIF karena alasan Palestina dan etika bisnis.

“Kami tidak tahu apakah ini adalah awal dari pergeseran dalam industri, yang mengakui kekuatan bank dalam memilih perusahaan yang mereka investasikan,” kata Martin Rohner, Direktur Eksekutif Global Alliance for Banking on Values, dilansir Reuters. “Pada dasarnya investasi mendukung produksi dan perdagangan senjata adalah bertentangan dengan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan,” tegas Rohner.

Sayangnya Menkeu Israel Bezalel Smotrich menegaskan investasi di negaranya masih tinggi. “Saya duduk dengan investor asing dan mereka percaya pada ekonomi kami,” katanya.

  1. Perdagangan dengan Israel Terganggu

FT melaporkan, pada Juni 2024, pemerintah Kolombia menangguhkan ekspor batu bara ke Israel sebagai protes atas konflik dengan Hamas. Sebulan sebelumnya AP News memberitakan, Presiden Kolombia Gustavo Petro memutuskan hubungan diplomatik dengan Israel atas operasi militer genosida di Gaza–kendati militer negara itu memakai pesawat tempur dan senjata buatan Israel.

Di kawasan itu, Bolivia dan Belize juga memutuskan hubungan diplomatik dengan Israel. Sementara itu, Indonesia pun sejak merdeka sudah menghentikan hubungan diplomatik dengan Israel.

Pada Mei 2024, Turki menghentikan perdagangan dengan Israel sampai negara Yahudi itu mengizinkan masuknya bantuan kemanusiaan yang tidak terputus dan cukup ke Gaza. Middle East Eye melaporkan, perdagangan bilateral dengan Israel senilai US$8 miliar ditangguhkan. Namun, sayangnya, perusahaan-perusahaan di Turki memakai negara ketiga seperti Yunani, demi memasok barang ke Israel. Bahkan salah satu rute yang dieksploitasi adalah melalui Palestina.

Awal tahun ini, dilansir  Aljazeera, Kanada menghentikan semua pengiriman senjata ke Israel. Kanada bergabung dengan Belanda, Jepang, Spanyol, dan Belgia yang  menangguhkan penjualan senjata, kendati beberapa negara Barat terus memasok senjata termasuk AS yang menjadi sekutu.

  1. Sektor-sektor Terdampak

Selain indikator ekonomi makro, perang dengan Hamas berdampak besar ke sektor-sektor ekonomi Israel. Sektor konstruksi, misalnya, melambat hampir sepertiga dalam 2 bulan pertama perang. Pertanian juga terpukul karena produksi turun seperempat di beberapa daerah.

Lembaga CofaceBDI menggelar survei terbaru yang dipublikasikan Juli 2024 dengan sampel 550 perusahaan dan bisnis di berbagai sektor ekonomi di Israel. Ketika ditanya tentang dampak perang terhadap operasional para pebisnis ini, 56% responden menyebut omzet mereka anjlok. Beberapa sektor yang terdampak ialah konstruksi, pertanian, pariwisata, perhotelan, dan hiburan.

Bahkan ada disebutkan sebanyak 85.000 pekerja Palestina tak lagi dipekerjakan di industri konstruksi Israel sejak perang dimulai, karena mereka tidak diizinkan masuk ke Israel dengan alasan keamanan. Banyak pekerja asing di lokasi pembangunan juga pergi dari Israel sehingga banyak lokasi pembangunan ditutup karena pekerjanya kurang.

“Terutama industri konstruksi mengalami kekurangan tenaga kerja yang signifikan. Ini menyebabkan proyek tertunda,” kata CEO CofaceBDI, Yoel Amir kepada The Times of Israel, 18 Juli lalu. “Pasokan pekerja yang rendah menyebabkan kenaikan gaji dan biaya perekrutan yang lebih tinggi.”

Dikutip the Conversation, lebih dari 120.000 warga Israel dipaksa meninggalkan rumah mereka di daerah perbatasan. Dan 140.000 pekerja Palestina dari Tepi Barat tidak diizinkan memasuki Israel sejak serangan 7 Oktober. Pemerintah Israel telah berupaya mengisi kesenjangan tersebut dengan mendatangkan pekerja dari India dan Sri Lanka. Namun, banyak pekerjaan penting yang pasti akan tetap kosong.

Di sektor perdagangan juga terdampak dengan meningkatkan biaya pengiriman dan membuat barang-barang dari China dan Timur Jauh jauh lebih mahal.

Di sektor pariwisata juga terpengaruh karena penurunan belanja konsumen. Evakuasi massal dari daerah yang terkena dampak perang di Israel utara dan selatan juga memukul bisnis di sektor perdagangan dan jasa, termasuk bisnis rekreasi, serta kafe dan restoran.

Dilansir CNN, Kementerian pariwisata Israel memperkirakan penurunan jumlah wisatawan asing mengakibatkan kerugian pendapatan sebesar NIS 18,7 miliar (US$4,9 miliar) sejak dimulainya perang.

  1. Ribuan Bisnis Gulung Tikar

Perusahaan informasi bisnis CofaceBDI memperkirakan iklim bisnis di Israel akan sangat terpengaruh akibat konflik dengan Hamas. Hingga akhir tahun ini, konflik itu diperkirakan akan membuat sebanyak 60.000 usaha tutup bakal tutup di 2024.

Prediksi suram ini muncul karena dalam 9 bulan sejak pecahnya perang dengan Hamas sejak 7 Oktober 2023, total 46.000 bisnis gulung tikar. Efek konflik ini membuat mereka semakin sulit bertahan karena suku bunga menjadi lebih tinggi, beban biaya pinjaman lebih mahal, kekurangan tenaga kerja, omzet turun tajam, gangguan operasi, logistik dan pasokan, serta kurang memadainya bantuan pemerintah.

Sebagai perbandingan, selama pandemi 2020, sebanyak 76.000 perusahaan terpaksa tutup, sementara normalnya sekitar 40.000 bisnis tutup setiap tahun. “Tidak ada satu sektor pun dalam ekonomi yang kebal terhadap dampak perang yang sedang berlangsung,” kata CEO CofaceBDI, Yoel Amir kepada The Times of Israel, 18 Juli lalu.

  1. Imbas ke Sektor Teknologi

Dalam laporan terbaru Oktober lalu, Startup Nation Central, lembaga nirlaba yang khusus mempromosikan teknologi Israel, mengungkapkan salah satu sektor yang juga terdampak efek perang ini adalah teknologi.

Ketahanan luar biasa sektor teknologi Israel sejauh ini tidak akan bertahan lama dalam menghadapi ketidakpastian akibat konflik yang berkepanjangan dan kebijakan ekonomi yang tidak tepat ini. “Ketidakpastian itu buruk bagi ekonomi, buruk bagi investasi,” kata CEO Startup Nation, Avi Hasson, dilansir CNN, 4 Oktober.

Menariknya, sebelum serangan 7 Oktober 2023, beberapa perusahaan teknologi Israel juga didorong agar berbadan hukum di AS. Efek perang membuat sebagian besar perusahaan teknologi baru terdaftar resmi di luar negeri, meski ada insentif pajak bagi yang berbadan hukum Israel. Bahkan sejumlah perusahaan teknologi besar mempertimbangkan memindahkan beberapa operasi mereka ke luar Israel.

Sebetulnya, dari 11 dampak yang terjadi menunjukkan dunia dan para pelaku usaha swasta sudah mengecam Israel dan sekutunya dengan keputusan investasi mereka. Apa yang dilakukan oleh swasta itu tentu memiliki dampak bagi ekonomi Israel.

Namun faktanya beberapa indikator ekonomi Israel lainnya memang masih kuat, misalnya nilai tukar NIS mereka masih di level NIS 3,5 per dolar AS, artinya masih di level apresiasi terhadap dolar AS mengingat mata uangnya pernah terdepresiasi di awal-awal Oktober 2023 di level NIS 4/dolar AS.

Selain mata uang, pasar modal Israel juga masih oke dengan tingkat indeks TASE (The Tel Aviv Stock Exchange) masih di level tinggi yakni 4.252 dibanding dengan dengan Desember tahun lalu di level 2.200.

Pada akhirnya, invasi Israel memang mulai memporak-porandakan ekonominya sendiri. Akan tetapi, dampaknya terhadap ekonomi Palestina jauh lebih buruk dan akan membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk memperbaikinya. Sebab itu, perlu dukungan politik pemerintah negara-negara lain untuk membuat negeri Zionis ini jera.

“Pemerintah [negara-negara] harus mengambil tindakan tegas,” kata Richard Portes, Guru Besar Ekonomi di London Business School, dikutip DailySabah. “Jika beban hanya diperuntukkan buat perusahaan swasta, bagaimana [konflik] ini akan berakhir?”

Penulis adalah alumnus UIN Jakarta, mantan wartawan ekonomi dan pasar modal, kini fokus menulis isu-isu ekonomi negara-negara Timur Tengah

Pizaro Idrus
Pizaro Idrus
Pengajar HI Universitas Al Azhar Indonesia, Mahasiswa PhD Hubungan Antarbangsa Universitas Sains Malaysia.
ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular