Friday, May 16, 2025
HomeBeritaMengapa tentara Israel sembunyikan wajah para prajuritnya dari media?

Mengapa tentara Israel sembunyikan wajah para prajuritnya dari media?

Kebijakan militer Israel yang menyembunyikan wajah para tentaranya dari sorotan media internasional dinilai para pengamat sebagai bentuk kekhawatiran terhadap potensi tuntutan hukum internasional.

Langkah ini sekaligus menjadi pengakuan terselubung atas keterlibatan mereka dalam dugaan kejahatan perang di Jalur Gaza.

Ketika operasi militer Israel di Gaza terus meluas, perhatian publik tertuju pada keputusan militer yang menyamarkan wajah 120 tentara dalam perayaan Hari Kemerdekaan Israel baru-baru ini.

Bahkan, wajah para prajurit yang disebut sebagai “tentara teladan” dan sempat bertemu langsung dengan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu pun turut disamarkan dari jangkauan publik dan media.

Langkah ini dinilai oleh pakar urusan Israel, Ihab Jabarin, sebagai bentuk pengakuan tersirat dari militer Israel atas keterlibatan tentaranya dalam aksi-aksi yang berpotensi dikategorikan sebagai kejahatan terhadap warga sipil di Gaza.

“Ini bukan sekadar tindakan preventif biasa. Ini menunjukkan adanya ketakutan akan pertanggungjawaban hukum internasional,” kata Jabarin kepada Al Jazeera.

Lebih lanjut, Jabarin menilai, penyamaran identitas para prajurit juga terkait dengan meningkatnya penolakan dari dalam negeri terhadap kelanjutan perang.

Sebagian warga Israel bahkan mulai menyebut tindakan militer di Gaza sebagai bentuk genosida.

Wacana seperti ini, menurut Jabarin, dapat memperkuat posisi komunitas internasional yang berupaya mengajukan dakwaan terhadap individu-individu dalam militer Israel.

Tindakan terencana dan terstruktur

Harian Yedioth Ahronoth mengutip sumber militer yang menyatakan bahwa keputusan menyamarkan wajah dan nama para tentara diambil secara terstruktur.

Khususnya bagi 120 prajurit yang mengikuti upacara tahunan penghargaan tentara teladan di kediaman Presiden Israel, di Yerusalem.

Ketika para tentara itu tampil di hadapan publik, wajah mereka tidak ditampilkan oleh kamera media, dan pengawasan militer pun memastikan tidak ada gambar yang dapat mengungkap identitas mereka.

Demikian pula dalam pertemuan antara Netanyahu beserta istrinya dengan sejumlah tentara, wajah-wajah prajurit kembali disamarkan oleh pihak sensor militer.

Meski demikian, Jabarin mengkritik sikap Netanyahu yang dinilainya justru menambah kompleksitas perang.

“Perdana Menteri bisa saja mencapai kesepakatan untuk memulangkan semua tawanan, namun ia memilih melanjutkan perang demi kepentingan pribadi dan politiknya,” ujarnya.

Menurut Jabarin, Netanyahu tidak sedang berperang demi tujuan politik jangka panjang yang jelas.

Melainkan tengah berupaya mempertahankan posisinya serta menciptakan tatanan politik baru di dalam negeri.

Ia menilai, Netanyahu sedang mencari dukungan diam-diam dari Amerika Serikat agar memiliki waktu enam bulan ke depan untuk melakukan apa pun yang ia kehendaki di Gaza, sambil menekan dampak kemanusiaan yang makin memburuk.

Dalam pernyataan publiknya, Netanyahu menegaskan bahwa perang akan terus berlanjut hingga seluruh tawanan, baik yang hidup maupun yang gugur, dapat dikembalikan, serta sampai Hamas dapat dilumpuhkan sepenuhnya.

Di sisi lain, Kepala Staf Militer Israel, Herzi Halevi, menyebut bahwa tantangan terbesar dalam perang ini adalah membebaskan para sandera, menghancurkan struktur Hamas, serta menciptakan kondisi keamanan baru di kawasan.

Bukan perang, tapi pembantaian

Situasi di Jalur Gaza kian memperlihatkan bahwa yang berlangsung bukan lagi perang dalam pengertian militer konvensional, melainkan aksi pembunuhan sistematis terhadap warga sipil.

Demikian disampaikan peneliti hubungan internasional, Husam Syakir, yang juga memprediksi bahwa Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu akan melanjutkan operasi militernya selama enam bulan ke depan, bahkan bisa hingga satu tahun penuh.

Menurut Syakir, Netanyahu menunjukkan ketergantungan terhadap perang.

“Ia telah menjadi pecandu perang,” ujarnya.

Dalam pandangannya, Netanyahu menggunakan narasi besar tentang keamanan dan ancaman untuk menutupi fakta bahwa pengembalian para tawanan bukanlah prioritas utama pemerintah Israel saat ini.

Syakir menegaskan bahwa militer Israel tidak sedang menjalani pertempuran sejati di Gaza.

“Apa yang dilakukan bukan pertempuran, melainkan pembantaian warga sipil secara brutal yang terorganisasi,” ujarnya.

Ia juga menyoroti penggunaan kelaparan sebagai senjata, sehingga istilah “operasi militer” menjadi kehilangan makna yang sebenarnya.

Dalam kondisi yang disebutnya sebagai hasil dari dukungan Amerika Serikat (AS), diamnya negara-negara Barat, dan lemahnya posisi dunia Arab, Syakir mengatakan bahwa rakyat Palestina tidak punya banyak pilihan.

Menurutnya, pilihannya hanya melanjutkan upaya negosiasi fleksibel tanpa mengorbankan prinsip-prinsip dasar mereka.

“Israel tidak menawarkan apa pun selain tipu daya,” katanya.

Syakir menekankan pentingnya menjaga kesatuan internal Palestina. Ia juga menyerukan peningkatan tekanan terhadap masyarakat internasional guna menghentikan kekejaman ini.

“Apa yang kita lihat di Gaza hari ini bukan hanya tragedi Palestina, tapi juga menjadi tanggung jawab kolektif dunia Arab,” ujarnya.

Ia menyerukan agar negara-negara Arab tidak tinggal diam dan segera bertindak untuk menghentikan apa yang digambarkan sebagai gambaran paling brutal dari kekerasan terhadap warga sipil di abad ini.

Sementara itu, Netanyahu dijadwalkan akan memimpin pertemuan penting pada Jumat untuk mengevaluasi situasi dan kemungkinan menyetujui perluasan operasi militer di Gaza.

Kepala Staf Militer, Herzi Halevi, menyatakan bahwa militer siap “mengaktifkan kekuatan dan memperluas operasi bila diperlukan.”

Namun di tengah tekanan perang yang terus berlangsung, suara penolakan dari dalam negeri Israel pun menguat.

Keluarga para tawanan menuduh Netanyahu tunduk pada pengaruh Menteri Keuangan Bezalel Smotrich yang dianggap ekstrem dan tidak mewakili aspirasi sebagian besar rakyat Israel.

Surat kabar Maariv melaporkan bahwa sudah lebih dari 150 ribu orang menandatangani petisi yang menuntut penghentian perang, termasuk di antaranya mantan tentara.

Selain itu, puluhan orang menggelar demonstrasi di depan rumah Presiden Isaac Herzog, menyerukan agar pemerintah segera menyepakati kesepakatan pertukaran tawanan.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular