Tuesday, December 10, 2024
HomeAnalisis dan OpiniOpiniOPINI : Jangan lupakan Tepi Barat, situasinya sama berbahaya dengan Gaza

OPINI : Jangan lupakan Tepi Barat, situasinya sama berbahaya dengan Gaza

Imran Khalid

Analis geostrategi dan jurnalis internasional

Di tengah kekerasan yang terus berlangsung dan kehancuran di Gaza, sebagian besar dunia tampaknya menutup mata terhadap konflik yang sama-sama memanas namun kurang terlihat di Tepi Barat.

Meskipun tidak sebrutal yang terjadi di Gaza, situasi di Tepi Barat sama berbahayanya, di mana kekerasan dapat mengguncang Otoritas Palestina dan memperparah pembersihan etnis.

Israel terus memperluas permukiman, menghancurkan rumah-rumah, dan mengambil alih sebagian besar lahan, dengan warga sipil menjadi target.

Namun, perhatian dunia tetap terpusat pada Gaza dan perang yang semakin memanas antara Israel dan Hizbullah di Lebanon. Seolah-olah dunia lupa bahwa hanya setahun yang lalu, banyak pihak khawatir Tepi Barat, bukan Gaza, akan menjadi medan pertempuran utama antara Israel dan Palestina.

Selama dua dekade terakhir, konflik Israel-Palestina telah berkembang dengan cara yang berbeda di Gaza dan Tepi Barat. Setelah Israel menarik diri secara sepihak dari Gaza pada tahun 2005, wilayah tersebut ditinggalkan tanpa pemukim Yahudi, menciptakan friksi yang berbeda dibandingkan dengan di Tepi Barat.

Permukiman Israel kian meluas dari hari ke hari

Pada 22 Maret, Menteri Keuangan Israel Bezalel Smotrich mengumumkan penyitaan lahan terbesar di Tepi Barat sejak 1993, yang menandai arah baru dalam kebijakan permukiman Israel.

Langkah Smotrich yang mendeklarasikan 800 hektar di Lembah Yordania sebagai tanah negara membuka jalan bagi pembangunan permukiman lebih lanjut di wilayah yang berbatasan sekitar 50 kilometer dengan Yordania.

Bagi warga Palestina, yang sudah lama tidak mempercayai langkah-langkah semacam ini dan melihatnya sebagai ancaman serius bagi terciptanya negara Palestina merdeka, hal ini terasa seperti pengkhianatan.

Ini merupakan pengambilalihan lahan terbaru yang dilihat Palestina sebagai langkah terakhir sebelum terbentuknya negara yang independen dan berkesinambungan.

Ekspansi permukiman — yang memecahkan rekor tahun lalu, menurut kelompok pemantau Israel, Peace Now — telah memunculkan keraguan atas kelayakan solusi dua negara.

Ancaman terbesar terhadap stabilitas jangka panjang wilayah tersebut adalah bahwa, dengan setiap penetapan tanah sebagai milik negara, kemungkinan terciptanya perdamaian semakin mengecil.

Ekspansi permukiman yang terus berlangsung, penyitaan lahan, dan meningkatnya kekerasan oleh pemukim — yang sering kali dilakukan dengan impunitas — hanya memperparah keadaan. Dalam beberapa kasus, hal ini diperburuk dengan adanya dukungan langsung atau terselubung dari tentara Israel.

Kementerian Kesehatan Otoritas Palestina menyatakan bahwa sejak 7 Oktober, 716 warga Palestina telah tewas di Tepi Barat akibat kekerasan oleh militer Israel dan pemukim, termasuk 160 anak-anak.

Hingga hari ini, lebih dari 5.750 orang terluka dan lebih dari 10.000 ditahan dalam pengepungan.

Hampir semua penangkapan dilakukan tanpa melalui proses hukum yang semestinya, dengan para tahanan dipenjara di bawah sistem “penahanan administratif” Israel — sebuah metode yang mengabaikan standar internasional dan dalam banyak kasus, menolak para tahanan hak untuk bertemu pengacara atau mengetahui secara jelas tuduhan terhadap mereka.

Solusi dua negara semakin hancur oleh Israel

Pemerintah Israel semakin sering dituduh menerapkan rencana aneksasi di Tepi Barat. Dampak dari tindakan ini seharusnya membuat khawatir negara-negara yang secara historis mendukung solusi dua negara, karena pernyataan verbal dan harapan baik saja tidak cukup untuk meredam kenyataan bahwa pasukan keamanan Israel kini beroperasi sesuka hati di Area A — wilayah berdaulat Otoritas Palestina sesuai dengan Kesepakatan Oslo.

Ketegangan ini semakin meningkat akibat pernyataan provokatif dari para pejabat Israel. Menteri Luar Negeri Israel, Israel Katz, pada akhir pekan lalu membandingkan operasi militer di Jenin dan Tulkarm dengan yang terjadi di Gaza, menyatakan bahwa “kami sedang dalam perang di segala aspek.”

Usulannya untuk melakukan proses evakuasi serupa di sepanjang perbatasan di mana warga sipil Palestina dapat dipindahkan sementara hanya akan memperburuk situasi di wilayah yang sudah sangat tegang.

Di tengah gejolak politik domestik, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dengan cerdik menghindari kesalahan di saat kekerasan di Gaza dan Tepi Barat terus berlanjut. Ia nyaris mengabaikan seruan untuk solusi dua negara dan secara terbuka menantang Pengadilan Internasional.

Netanyahu menolak untuk berkompromi, posisi yang telah melumpuhkan upaya perdamaian di Gaza dan memperburuk ketakutan akan kekerasan yang kembali meletus di Tepi Barat. Netanyahu kini memiliki banyak alasan yang dapat menjadi dalih bagi perubahan kebijakan yang bertujuan memperkuat kendali Israel atas wilayah tersebut.

Nasib sebagian besar wilayah Tepi Barat sangat penting; tanpa itu, setiap kemungkinan solusi dua negara akan sirna.

Di dalam koalisi pemerintahan Netanyahu, terdapat unsur-unsur yang tampaknya bertekad pada tujuan ini dan memiliki pengaruh besar atas perdana menteri. Dalam konteks ini, retorika provokatif Menteri Luar Negeri Israel Katz tentang Tepi Barat bukanlah sekadar bahasa ceroboh — melainkan bisa jadi sinyal yang disengaja atas niat pemerintah.

Ketika pemerintahan Netanyahu semakin mendekati apa yang tampaknya merupakan strategi aneksasi yang diperhitungkan, komunitas internasional harus bertanya-tanya apakah ini hanya konsekuensi dari kebijakan atau tujuan utamanya.

Tulisan ini disadur dari kolom opini Anadolu Agency berjudul West Bank crisis escalates amid global focus on Gaza

Pizaro Idrus
Pizaro Idrus
Pengajar HI Universitas Al Azhar Indonesia, Mahasiswa PhD Hubungan Antarbangsa Universitas Sains Malaysia.
ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular