Oleh: Ahmad Al-Hila*
Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, tampaknya berhasil mengacaukan peta diplomasi dan menggantung proses negosiasi antara Amerika Serikat (AS) dan Iran terkait proyek nuklir Teheran.
Alih-alih mendorong jalan damai, Netanyahu justru menyeret Washington ke dalam konfrontasi langsung dengan Iran, bahkan dengan dukungan militer terbuka dari AS.
Padahal, Presiden AS saat itu, Donald Trump, sebenarnya memiliki peluang untuk mencapai kesepakatan strategis dengan Iran.
Yakni menjaga proyek nuklir Teheran tetap dalam jalur damai sebagaimana diklaim oleh pemerintah Iran dan sebagaimana diterapkan di banyak negara lain di dunia.
Sebagai imbalannya, Iran bisa memperoleh akses ke investasi dan keuntungan ekonomi besar, termasuk peluang bagi perusahaan-perusahaan Amerika untuk menggarap proyek-proyek bernilai triliunan dolar AS.
Dari kesepakatan itu, bisa lahir hubungan kerja sama yang saling menguntungkan antara dua negara besar ini.
Namun, ide seperti ini tidak sejalan dengan doktrin keamanan Israel. Negara itu secara konsisten menolak kemungkinan adanya negara Arab atau Islam yang memiliki program nuklir, meskipun hanya dalam kapasitas sipil.
Kekhawatiran Israel adalah bahwa program semacam ini, yang membangun fondasi pengetahuan ilmiah dan teknologi, sewaktu-waktu dapat bertransformasi menjadi proyek produksi senjata nuklir.
Pakistan menjadi contoh nyata dalam hal ini. Bila itu terjadi, maka akan muncul keseimbangan daya gentar (deterrence) di kawasan yang dapat mengganggu posisi dominan Israel yang selama ini bergantung pada keunggulan teknologi dan militernya.
Israel sepenuhnya sadar bahwa keberadaannya di kawasan Timur Tengah adalah entitas yang dipaksakan melalui kekuatan, bukan melalui penerimaan rakyat di sekitarnya.
Meskipun sudah melakukan normalisasi dengan sejumlah negara Arab, Israel tetap dianggap sebagai ‘tubuh asing’ di kawasan tersebut.
Oleh karena itu, kekuatan militer dan keunggulan teknologi menjadi jaminan utama atas kelangsungan hidupnya. Jika kedua unsur ini goyah, eksistensinya pun akan dipertaruhkan.
Motif semacam itu pula yang menjadi latar belakang pengeboman Israel terhadap Reaktor Nuklir Osirak di dekat Baghdad pada tahun 1981.
Pola ini terus berulang, terlihat dari kegigihan Netanyahu dalam menghentikan proyek nuklir Iran—apakah dengan jalan penghancuran atau pembongkaran.
Ke mana arah pertempuran ini?
Israel mulai melancarkan serangan ke Iran pada Jumat, 13 Juni lalu. Serangan ini dilakukan di tengah suasana diplomatik yang semula mengarah ke dialog, dengan Iran sedang bersiap menyambut putaran baru negosiasi dengan AS di Oman, hanya dua hari setelah serangan itu.
Serangan tersebut memanfaatkan momen kebingungan yang ditimbulkan oleh pernyataan-pernyataan Presiden Trump yang dianggap meninabobokan Iran.
Hanya dalam hitungan hari sejak pecahnya pertempuran, posisi Israel semakin mengeras. Netanyahu secara terbuka menyebutkan bahwa tujuan Israel dalam perang ini mencakup tiga hal:
- Menghancurkan proyek nuklir Iran.
- Melumpuhkan sistem rudal Iran.
- Mengubah rezim pemerintahan Iran sebagai bagian dari rancang ulang tatanan Timur Tengah.
Selaras dengan pernyataan itu, operasi militer Israel berkembang mencakup target-target yang lebih luas.
Target tersebut meliputi fasilitas militer, sistem rudal, infrastruktur ekonomi seperti ladang gas Pars, bahkan hingga area-area sipil seperti kantor penyiaran nasional Iran serta berbagai fasilitas terkait proyek nuklir.
Yang menarik adalah posisi AS dalam konflik ini. Presiden Trump, pada Selasa, 17 Juni, menyatakan bahwa dirinya tidak menginginkan sekadar gencatan senjata, melainkan “akhir yang nyata” dari konflik Israel-Iran.
Ia menegaskan bahwa Amerika menginginkan “penyerahan total dan tanpa syarat” dari pihak Iran.
Pernyataan ini sejalan dengan pergerakan besar militer AS ke kawasan tersebut: pengerahan kapal induk, jet tempur, pesawat pengisi bahan bakar di udara, serta pembom strategis B-2 dan B-52 yang dilengkapi bom penembus bunker.
Ini mengindikasikan adanya rencana serius untuk menyerang fasilitas nuklir Fordow yang terletak sangat dalam di bawah pegunungan dan tidak mungkin dijangkau oleh militer Israel tanpa bantuan langsung dari Amerika.
Meski demikian, Israel, betapapun dominan dan agresif, tidak akan mampu merancang ulang peta politik kawasan—sebagaimana dicita-citakan Netanyahu—tanpa peran langsung dan dalam dari AS.
Terutama dalam upaya mengganti pemerintahan Iran atau memaksa perubahan orientasi politik Iran di kawasan.
Namun, tak ada jaminan bahwa Washington akan berhasil sepenuhnya. Iran bukanlah negara kecil dan lemah.
Dengan luas wilayah mencapai 1,7 juta kilometer persegi, populasi sekitar 90 juta jiwa, dan kekuatan militer serta ekonomi yang cukup besar.
Iran jauh lebih kompleks dibandingkan Irak atau Afghanistan—dua negara yang menjadi pelajaran pahit bagi ambisi militer Amerika.
Skenario perang dan agresi terhadap Iran:
Serangan Israel terhadap Iran pada pertengahan Juni lalu diyakini mendapat restu awal dari Presiden AS Donald Trump.
Ia tampaknya memperkirakan bahwa tekanan militer ini akan memaksa Iran tunduk di meja perundingan, dan bersedia meninggalkan program pengayaan uranium atau proyek nuklirnya, sesuai dengan tuntutan AS dan Israel.
Namun, kalkulasi itu meleset. Serangan pertama gagal mencapai tujuannya. Iran tetap teguh pada posisinya dan berhasil menyerap gempuran awal, lalu melancarkan balasan berupa serangan rudal ke berbagai titik penting di wilayah Israel.
Ini membuat situasi di lapangan menjadi jauh lebih rumit, baik bagi Israel maupun bagi pelindung utamanya, AS.
Perang saling balas antara kedua negara, disertai ancaman eskalasi dan kemungkinan intervensi militer AS, membawa situasi ke persimpangan berbahaya. Setidaknya, ada tiga skenario besar yang kini berada di depan mata:
- Iran kembali ke meja perundingan dengan menyerah pada syarat AS
Dalam skenario ini, Iran memilih kembali ke jalur diplomasi demi menghindari gempuran besar-besaran dari AS, yang dapat membawa konsekuensi militer dan ekonomi sangat serius.
Iran, yang telah lama hidup di bawah sanksi ketat, mungkin memilih menghindari kehancuran total dan menerima syarat-syarat dari AS dan Israel.
Konsekuensinya: Iran mundur dari ambisi regionalnya, membuka jalan bagi proyek rekonstruksi politik Timur Tengah seperti yang didambakan Netanyahu.
- Kekalahan militer Iran dan penyerahan diri
Jika AS secara langsung terlibat penuh dalam perang dan komunitas internasional tetap pasif—tanpa adanya intervensi dari kekuatan besar lain seperti China atau Rusia—maka kemungkinan kekalahan militer Iran terbuka lebar.
Dalam kondisi seperti ini, Iran akan terisolasi dan menerima serangan udara dan rudal dalam skala masif tanpa bantuan dari luar.
Kekalahan semacam itu bisa memicu perubahan rezim dan merombak struktur kekuasaan di kawasan.
- Perang regional yang melibatkan banyak pihak
Jika Iran bertahan dan menganggap perang ini sebagai pertarungan eksistensial, maka konflik berpotensi meluas menjadi perang regional. Sejumlah aktor diperkirakan akan terlibat:
- Hizbullah Lebanon bisa membuka front utara melawan Israel. Kekalahan Iran berarti ancaman eksistensial bagi kelompok ini. Jika mampu mengatasi kelemahan intelijen yang terungkap dalam dukungan terhadap Gaza, Hizbullah masih memiliki kapasitas untuk menyakiti dan menguras sumber daya Israel. Terlebih, Hizbullah sempat menghentikan pertempuran di tahun 2024, dan mungkin melihat ini sebagai saat yang tepat untuk kembali.
- Yaman, yang sejak lama mendukung perlawanan di Gaza, juga mungkin bergabung. Posisi strategisnya di Bab al-Mandeb memberi peluang besar untuk mengganggu jalur pelayaran dan logistik militer AS.
- Pasukan mobilisasi rakyat (Hashd al-Shaabi) di Irak memiliki sumber daya dan kedekatan geografis dengan Iran. Mereka juga memiliki catatan serangan terhadap Israel melalui drone dan berpotensi memainkan peran penting di front barat Iran.
- China dan Rusia bisa memanfaatkan situasi ini untuk menguras kekuatan dan fokus Amerika. Dukungan terhadap Iran bisa menjadi alat tawar dalam konstelasi global yang lebih luas: Ukraina bagi Rusia dan Taiwan bagi China.
- Turki dan Pakistan, dua negara besar yang berbatasan atau dekat dengan Iran, juga tidak berkepentingan terhadap kehancuran Iran. Keduanya menyadari risiko kekacauan yang bisa meluas ke wilayah mereka. Selain itu, Israel telah lama tidak menyembunyikan kekhawatirannya terhadap kekuatan nuklir Pakistan dan pengaruh Turki di Suriah. Netanyahu bahkan sempat menyatakan bahwa setelah Iran, proyek nuklir Pakistan akan menjadi perhatian Israel selanjutnya.
Jika Iran tetap teguh dan tidak menyerah, lalu Amerika terlibat secara militer, maka arah konflik hampir pasti menuju perang regional berskala besar.
Dampaknya tidak hanya akan mengguncang Iran dan Israel, tetapi juga negara-negara seperti Irak, Suriah, Yordania, Lebanon, Yaman, dan negara-negara Teluk yang berbatasan langsung dengan Iran.
Perang regional akan membawa dampak global, baik secara keamanan maupun ekonomi. Jumlah aktor yang terlibat langsung maupun tidak langsung akan sangat besar dan kompleks dalam kepentingannya.
Risiko paling nyata adalah ditutupnya Bab al-Mandeb dan Selat Hormuz—dua jalur pelayaran penting yang menyuplai sekitar 30% minyak dunia dan 25% gas alam global.
Sejak didirikan pada tahun 1948, Israel berfungsi sebagai pangkalan militer dan simbol kekuatan Barat di jantung dunia Arab.
Keberadaannya didesain untuk bertahan melalui keunggulan militer, sementara negara-negara Arab tetap dalam posisi lemah, baik secara kolektif maupun individual.
Namun kini, dinamika ini merambah lebih jauh, menyentuh kawasan Muslim yang lebih luas—dari Iran hingga Turki dan Pakistan.
Jika perang regional benar-benar meletus, dampaknya terhadap masa depan kawasan dan rakyatnya akan sangat besar.
Kekalahan Iran, jika sampai terjadi, tidak akan menghapus eksistensinya sebagai negara tua yang telah berdiri ribuan tahun dan memiliki posisi penting dalam sejarah dan peradaban Asia Barat.
Namun, pertanyaan besar justru harus diarahkan ke Israel: Apa yang akan terjadi pada eksistensi Israel sebagai entitas jika ia gagal atau kalah dalam perang ini?
*Ahmad Al-Hila adalah seorang penulis dan analis politik Palestina yang lahir di Palestina. Ia adalah tokoh terkemuka di bidang analisis politik, yang memfokuskan tulisannya pada masalah Palestina dan Arab. Tulisan ini diambil dari situs Aljazeera.net dengan judul “Tsalātsah Sīnāriyūhāt Muḥtamalah Liḥarbi Isrāīli wa Īrān”.