Setelah Gedung Putih mengungkapkan bahwa Amerika Serikat (AS) telah melakukan kontak langsung untuk pertama kalinya dengan Hamas di Doha mengenai perjanjian gencatan senjata di Gaza, muncul berbagai pertanyaan mengenai arah negosiasi ini dan sejauh mana efektivitasnya.
Terutama setelah mengalami kebuntuan berkali-kali ketika berada di tangan perantara. Hal ini terjadi setelah fase pertama dari kesepakatan berakhir.
Gaza kini berada dalam situasi kritis setelah berakhirnya fase pertama. Israel kembali menutup semua jalur masuk ke wilayah tersebut untuk mencegah bantuan kemanusiaan. Sebagai bentuk tekanan terhadap Hamas agar menerima tuntutan Israel.
Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, dengan dukungan AS., ingin memperpanjang fase pertama perjanjian yang mulai berlaku pada 19 Januari 2025.
Tujuannya adalah membebaskan sebanyak mungkin tawanan Israel di Gaza tanpa memberikan imbalan yang sepadan. Atau juga untuk memenuhi kewajiban kemanusiaan dan militer yang telah disepakati sebelumnya.
Di sisi lain, Hamas menegaskan bahwa negosiasi fase kedua harus segera dimulai. Negoisasi itu mencakup penghentian perang dan penarikan penuh pasukan Israel dari Gaza.
Hal ini akan menjadi langkah menuju fase ketiga, yaitu rekonstruksi wilayah Gaza yang hancur akibat perang.
Dalam sebuah wawancara dengan Al Jazeera Net, analis politik Palestina sekaligus Direktur Lembaga Media Palestina, Ibrahim Al-Madhoun, memberikan beberapa wawasan tentang perkembangan negosiasi ini.
Amerika Serikat bernegosiasi dengan hamas, apa yang melatarbelakanginya?
Tidak mengejutkan jika Hamas bersedia berdialog dengan AS. Karena mereka tidak menolak berbicara dengan negara mana pun kecuali Israel.
Bahkan, Hamas melihat pembukaan jalur komunikasi dengan Washington sebagai langkah penting untuk memahami sikap AS dan memengaruhi keputusannya.
Namun, yang baru kali ini terjadi adalah dialog tersebut tidak dilakukan melalui saluran tidak resmi atau pihak ketiga.
Namun, secara langsung antara seorang pejabat pemerintahan AS dan Hamas. Ini adalah perkembangan strategis yang signifikan.
Negosiasi yang diungkapkan ini melibatkan Adam Boehler, utusan Presiden AS Donald Trump, dengan para pemimpin Hamas.
Fokus utama pembicaraan adalah tawanan Amerika-Israel, Aidan Alexander, yang ditahan oleh kelompok perlawanan Palestina.
Namun, dialog ini bukan sekadar negosiasi kemanusiaan. Ini terjadi setelah kegagalan Israel dan AS mencapai tujuan mereka dalam perang di Gaza. Serta menandai perubahan taktis dalam cara Washington menangani konflik ini.
Menurut analis politik Palestina, Ahmad Al-Hila, dalam sebuah unggahan di platform X, pertemuan ini mengandung beberapa makna:
- Pengakuan de facto oleh Washington bahwa Hamas adalah bagian penting dari lanskap politik Palestina yang tidak bisa diabaikan setelah upaya militer untuk menghancurkannya gagal.
- Berkurangnya kepercayaan Trump terhadap Netanyahu, yang dianggap lebih mementingkan kepentingan pribadinya daripada kepentingan AS dan Israel. Netanyahu ingin menggagalkan kesepakatan gencatan senjata, yang berarti penundaan pembebasan tawanan dan perpanjangan ketegangan di bawah alasan perang.
- Kepentingan AS dalam menghentikan perang agar dapat memanfaatkan hubungan politik (normalisasi) dan ekonomi dengan negara-negara Arab, yang memerlukan stabilitas di kawasan.
- Ancaman Trump dan Netanyahu terhadap Gaza masih menjadi alat tekanan dalam negosiasi, dan masih ada ruang untuk perundingan lebih lanjut.
Mengapa AS bernegosiasi dengan hamas sekarang?
Selama bertahun-tahun, pemerintah AS secara berturut-turut memberlakukan syarat-syarat berat untuk setiap dialog dengan Hamas.
Syarat itu seperti mengakui Israel, melucuti senjata, dan mematuhi perjanjian sebelumnya dengan Israel.
Namun, dengan terus berlanjutnya pertempuran di Gaza dan kegagalan Israel dalam mencapai kemenangan politik atau militer, Washington menghadapi realitas baru: Hamas tidak kalah, tidak dihancurkan, dan tidak bisa lagi diabaikan.
Dialog langsung ini merupakan pengakuan tidak langsung dari AS bahwa Hamas kini menjadi aktor utama dalam politik Palestina dan tidak dapat dilewati dalam setiap proses politik mendatang.
Bahkan Israel sendiri pernah terpaksa bernegosiasi dengan Hamas dalam beberapa kesempatan.
Seperti dalam kesepakatan pertukaran tawanan Gilad Shalit, negosiasi gencatan senjata melalui mediator regional, dan perjanjian pertukaran tawanan di Doha yang dimediasi oleh Qatar dan Mesir.
Apa dampak negosiasi ini pada konflik?
Hanya dengan berlangsungnya negosiasi ini saja, ini sudah menjadi pukulan keras bagi Netanyahu dan pemerintahannya.
Ini menunjukkan kelemahan Israel dan ketidakmampuannya untuk memaksakan kehendaknya melalui kekuatan militer. Meskipun menggunakan segala cara brutal dalam perang di Gaza.
Sumber-sumber Israel melaporkan kemarahan Netanyahu atas pembicaraan ini. Upayanya yang terus-menerus menekan pemerintahan Trump untuk menghentikannya, tetapi tidak berhasil.
Perkembangan ini justru memperlihatkan Israel sebagai pihak yang hanya mengikuti kebijakan AS, bukan sebagai kekuatan independen seperti yang ingin mereka tunjukkan.
Apa yang harus dituntut hamas?
Hamas kini memiliki peluang besar yang tidak boleh disia-siakan. Mereka dapat memanfaatkan dialog ini untuk mengubahnya dari sekadar negosiasi tentang seorang tawanan AS menjadi diskusi politik yang lebih luas.
Beberapa tuntutan utama yang dapat diajukan Hamas meliputi:
- Penghapusan Hamas dari daftar “organisasi teroris” Amerika.
- Pengakuan Hamas sebagai bagian dari solusi politik di kawasan.
- Jaminan peran Hamas dalam lanskap politik Palestina di masa depan, termasuk dalam Organisasi Pembebasan Palestina (PLO).
- Negosiasi gencatan senjata jangka panjang dengan syarat yang memberikan hak-hak rakyat Palestina tanpa mengorbankan perlawanan.
Apakah Ini awal dari perubahan sikap AS?
Kesadaran AS bahwa Hamas adalah bagian dari solusi, bukan masalah, bisa menjadi awal dari perubahan kebijakan AS yang lebih luas terhadap isu Palestina.
Jika Hamas dapat mengelola dialog ini dengan bijak, mereka bisa mendapatkan pengakuan internasional yang lebih besar, mengurangi tekanan pada sekutunya, dan bahkan mengubah dinamika konflik Palestina-Israel.
Israel sangat menyadari bahaya dari jalur ini, sehingga kemungkinan akan berusaha dengan segala cara untuk menggagalkannya.
Selain itu, beberapa kekuatan regional mungkin tidak menyambut baik keterbukaan AS terhadap Hamas.
Oleh karena itu, dalam beberapa hari mendatang, kita mungkin akan melihat kampanye media Israel, bocoran informasi yang menyesatkan, atau bahkan manuver politik yang bertujuan menghambat perundingan.
Apa dampak ancaman Trump?
Analis politik Palestina, Wissam Afifa, menilai bahwa ancaman AS terhadap Hamas mengandung kontradiksi yang besar antara ancaman Trump dan jalur negosiasi yang telah dimulai oleh pemerintahannya.
Negosiasi ini sendiri adalah sesuatu yang belum pernah terjadi sebelumnya, dan bahkan diumumkan secara resmi oleh AS.
Ancaman ini dapat dilihat sebagai upaya maksimal untuk menekan Hamas agar memberikan konsesi dalam negosiasi.
Namun, pada saat yang sama, AS menyadari bahwa strategi negosiasi Netanyahu tidak efektif. Sehingga, hasilnya tidak sesuai dengan ekspektasi Washington yang lebih mengutamakan kesepakatan cepat berbasis transaksi.
Jika Hamas mampu membuat AS tidak menjadi pihak utama dalam konflik ini, mereka telah mencapai kemajuan besar.
Sebab, AS saat ini bukan lagi mediator netral, tetapi lebih sebagai pihak dalam konflik, yang semakin memperumit situasi.
Trump sendiri telah mengeluarkan ancaman keras terhadap Hamas. Ia menyebutnya sebagai “peringatan terakhir”.
Trump mengancam akan menghancurkan kelompok tersebut jika mereka tidak segera membebaskan semua tawanan Israel, termasuk mengembalikan yang telah meninggal.