Seorang ayah dari tentara Israel yang disandera di Jalur Gaza menuduh Perdana Menteri Benjamin Netanyahu telah mengabaikan para sandera demi memperpanjang perang untuk kepentingan politik pribadinya.
“Kami mendengarkan pernyataan Netanyahu dari Alun-Alun Sandera di Tel Aviv, dan kami sangat kecewa,” ujar Hagai Angrest, ayah dari tentara bernama Matan, kepada surat kabar Maariv pada Minggu (20/4/2025), seperti dilaporkan Anadolu.
“Seluruh dunia menyerukan agar gencatan senjata dan pembebasan para sandera menjadi prioritas utama. Namun kami justru melihat seorang perdana menteri yang mengabaikan para tentara dan terus mengirim lebih banyak orang ke medan perang,” lanjutnya.
Angrest menambahkan bahwa awalnya keluarga korban dijanjikan bahwa perang tidak akan berakhir tanpa pembebasan sandera. “Namun kini tampaknya Netanyahu lebih memilih mempertahankan kekuasaan politiknya ketimbang menyelamatkan nyawa mereka yang ditahan,” ujarnya. “Seluruh bangsa Israel mendukung pemulangan para sandera.”
Dalam pidato yang disampaikan Sabtu malam, Netanyahu menyatakan bahwa “tidak ada pilihan lain” selain melanjutkan operasi militer di Gaza, dan menyebut kesepakatan gencatan senjata dengan Hamas akan “merusak pencapaian perang.”
Ia mengklaim bahwa Hamas menolak proposal yang mencakup pembebasan separuh sandera yang masih hidup serta sejumlah jenazah warga Israel, dengan syarat perang diakhiri sepenuhnya—sebuah tuntutan yang disebut Netanyahu sebagai “tidak dapat diterima.”
Sementara itu, pada Kamis (17/4/2025), pemimpin Hamas di Gaza, Khalil Al-Hayya, menyampaikan bahwa pihaknya siap melakukan negosiasi komprehensif yang mencakup pembebasan seluruh sandera Israel dengan imbalan gencatan senjata total, penarikan pasukan Israel dari Gaza, dimulainya kembali proses rekonstruksi, serta penghapusan blokade atas wilayah tersebut.
Namun, juru bicara kantor Perdana Menteri Israel menyatakan bahwa membebaskan seluruh sandera Israel dalam satu kesepakatan adalah hal yang “mustahil.”
Berdasarkan estimasi otoritas Israel, terdapat 59 orang sandera yang masih berada di Gaza, dengan 24 di antaranya diyakini masih hidup.
Sementara itu, lebih dari 9.500 warga Palestina saat ini ditahan di penjara-penjara Israel, dengan laporan kondisi yang memprihatinkan, termasuk dugaan penyiksaan, kelaparan, dan kurangnya perawatan medis, menurut organisasi hak asasi manusia dari Palestina dan Israel.
Sejak dimulainya serangan militer pada Oktober 2023, lebih dari 51.200 warga Palestina, sebagian besar perempuan dan anak-anak, dilaporkan tewas di Gaza.
Pada November 2024, Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan mantan Menteri Pertahanannya, Yoav Gallant, atas dugaan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Selain itu, Israel juga menghadapi gugatan genosida di Mahkamah Internasional (ICJ) terkait konflik di Jalur Gaza.
Kalau kamu butuh versi pendeknya untuk caption media sosial atau ringkasan berita, tinggal bilang saja ya.