Monday, December 2, 2024
HomeLaporan KhususLAPORAN KHUSUS: Gencatan senjata Israel-Hizbullah, akankah akhiri genosida Gaza?

LAPORAN KHUSUS: Gencatan senjata Israel-Hizbullah, akankah akhiri genosida Gaza?

Gencatan senjata antara Israel dan Lebanon memunculkan pertanyaan apakah keputusan serupa dapat mengakhiri genosida Israel yang tengah berlangsung di Gaza.

Pernyataan dari berbagai pihak di dunia menumbuhkan harapan hati-hati, seperti pernyataan AS yang berencana menggunakan gencatan senjata Lebanon sebagai pintu masuk gencatan senjata di Gaza, namun prospek untuk mewujudkannya masih belum pasti.

Akademisi Palestina Sami Al-Arian berpendapat Israel tidak menginginkan gencatan senjata di Gaza, setidaknya untuk saat ini.

“Mengingat bahwa Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu akan menghadapi penjara setelah perang di Gaza berakhir, sepertinya dia tidak tertarik untuk membebaskan sandera atau mengakhiri perang genosidal ini,” ujar Al-Arian kepada Anadolu.

Israel, menurutnya, telah berusaha melenyapkan perlawanan Palestina, namun gagal melakukannya, serta gagal membebaskan sandera dengan cara militer.

“Mereka telah mencoba selama 14 bulan dan gagal total,” ujarnya, menambahkan bahwa gencatan senjata dalam kondisi ini tidak sesuai dengan tujuan Israel.

Ahli Israel, Ori Goldberg, juga menganggap peluang gencatan senjata di Gaza sulit, dengan akibat penolakan Netanyahu terhadap kemungkinan tersebut.

Goldberg mengatakan Netanyahu yang kini menjadi buronan Mahkamah Pidana Internasional (ICC) atas kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan, kemungkinan besar tidak akan setuju dengan ketentuan gencatan senjata yang dapat merusak reputasi politiknya.

“Berbagai negara telah menyatakan komitmen untuk melanjutkan kesepakatan sandera, tetapi gencatan senjata di Gaza harus mencakup jadwal rinci untuk penarikan Israel,” kata Goldberg.

“Saya kesulitan membayangkan Netanyahu setuju dengan itu di Gaza… Jika dia setuju, dia akan terlihat lebih lemah.”

Goldberg juga menambahkan faktor lain, yaitu seberapa besar dukungan publik Israel terhadap keberadaan militer Israel di Gaza, jauh lebih besar dibandingkan di Lebanon.

Lalu, mengapa Israel setuju dengan gencatan senjata Lebanon?

Para ahli mengatakan alasan utama Israel setuju dengan gencatan senjata Lebanon adalah kegagalannya mengalahkan Hizbullah.

“Mereka ingin mendorong Hizbullah ke utara Sungai Litani, tetapi gagal. Mereka ingin melucuti senjata Hezbollah, dan itu gagal,” kata Al-Arian.

Dia menambahkan bahwa Israel memilih menghentikan permusuhan karena pasukannya mengalami kerugian.

“Mereka ingin merusak kedaulatan Lebanon dan bisa terbang di atas ruang udara Lebanon serta mengendalikan perbatasan. Itu gagal.”

Tujuan lainnya, seperti mengembalikan pemukim ilegal Israel ke tanah Lebanon atau menciptakan zona penyangga, juga gagal.

Al-Arian menekankan bahwa kesepakatan saat ini bukan gencatan senjata, melainkan gencatan senjata sementara selama 60 hari, dengan alasan satu-satunya Israel setuju adalah karena “mereka tidak mampu membuat Hizbullah menyerah.

Ali Rizk, analis keamanan Lebanon, melihat hal yang sedikit berbeda. Dia menyatakan bahwa baik Israel maupun Hizbullah membutuhkan gencatan senjata.

“Hizbullah membutuhkan gencatan senjata karena mereka telah mengalami pukulan berat,” katanya kepada Anadolu.

Rizk menambahkan bahwa pasukan Hizbullah, terutama dari kalangan komunitas Syiah, menjadi sasaran serangan Israel, dengan banyak dari mereka terpaksa mengungsi, serta mengalami penderitaan manusia yang luar biasa dengan datangnya musim dingin.

Bagi Israel, Rizk berpendapat mereka mulanya memiliki momentum terutama setelah pembunuhan pemimpin Hizbullah Syed Hassan Nasrallah, tetapi momentum itu perlahan hilang.

“Mereka menghadapi perlawanan sengit di selatan. Banyak tentara mereka kehilangan nyawa di selatan. Serangan roket dan misil Hizbullah terus berlanjut,” ujarnya.

Rizk juga menilai bahwa meskipun Netanyahu tidak menyatakannya secara langsung, ia seolah-olah mengindikasikan bahwa militer Israel kelelahan.

AS juga menjadi faktor, katanya, karena sejak Oktober 2023, negara tersebut tidak ingin “situasi meledak di Lebanon.”

“Mereka (AS) menyambut setiap langkah yang diambil, dan mereka melihat kesempatan itu saat situasinya tepat dan mengirim Amos Hochstein,” ujarnya, merujuk pada utusan khusus Presiden Biden.

“Berbagai faktor — kepentingan Hizbullah, Israel, dan AS — semuanya mengarah pada tujuan yang sama.”

Goldberg juga berpendapat Netanyahu setuju dengan gencatan senjata karena pasukannya gagal mencapai tujuan mereka di Lebanon.

“Dia ingin militer Israel tetap berada di Gaza. Tidak ada kemenangan di sana, jadi dia ingin sesuatu yang bisa menjadi prestasi… Dia setuju dengan gencatan senjata di Lebanon karena ini adalah dua negara berdaulat,” katanya.

Apakah gencatan senjata Lebanon akan bertahan dan apa yang terjadi selanjutnya?

Mengenai ketahanan gencatan senjata Lebanon, Rizk menunjukkan nada optimis.

“Jika Anda melihat apa yang terjadi pada 2006, Resolusi 1701 yang mengakhiri konflik itu dan menyebutkan penghentian permusuhan,” katanya, menambahkan bahwa situasi tetap tenang dari 2006 hingga 2023.

“Sangat mungkin bahwa… kita bisa kembali ke ketenangan jangka panjang… karena jelas bahwa baik Israel maupun Amerika tidak tertarik situasi ini meledak.”

Dengan kemenangan Trump, yang ingin mengakhiri perang, Rizk berpendapat hal itu akan membuat potensi gencatan senjata dapat diperpanjang.

Namun, Goldberg lebih berhati-hati dalam pandangannya.

“Saya pikir gencatan senjata akan bertahan, meskipun ada ketentuan yang menyarankan Israel bisa membuka tembakan dan menggunakan kekerasan kapan saja. Kita akan lihat bagaimana ini terjadi,” ujarnya.

“Saya rasa Netanyahu memiliki kepentingan agar gencatan senjata ini bertahan karena itu memberinya kebebasan penuh di Gaza.”

Sementara itu, Rizk juga percaya bahwa formula dapat dicapai untuk mengakhiri genosida Gaza dan melanjutkan kesepakatan sandera.

“Pada Juli, menurut laporan, (Presiden terpilih AS Donald) Trump mengatakan kepada Netanyahu bahwa dia ingin situasi ini selesai, dan ingin perang berakhir,” katanya.

“Jika Anda melihat penunjukan Trump, tampaknya dia tidak ingin terlibat dalam konflik baru di Timur Tengah. Dia bahkan menunjukkan indikasi bahwa dia ingin berurusan dengan Iran, yang membuat saya menyimpulkan bahwa prioritas kebijakan luar negerinya akan berpindah, yang membutuhkan ketenangan di wilayah ini.”

 

Pizaro Idrus
Pizaro Idrus
Pengajar HI Universitas Al Azhar Indonesia, Mahasiswa PhD Hubungan Antarbangsa Universitas Sains Malaysia.
ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular