Sunday, March 16, 2025
HomeAnalisis dan OpiniOPINI: Mengapa Trump melakukan negosiasi dengan Hamas?

OPINI: Mengapa Trump melakukan negosiasi dengan Hamas?

Oleh: Arab Al-Rantawi*

Berita mengenai pembicaraan langsung antara pemerintahan Trump dan kepemimpinan Hamas mengejutkan banyak pihak di Kawasan, Terutama di Tel Aviv dan Ramallah—masing-masing dengan alasan mereka sendiri, terkadang sejalan dan terkadang bertentangan.

Tel Aviv mengharapkan “gerbang neraka” dibuka terhadap Hamas dan basisnya di Gaza. Namun, alih-alih kehancuran, yang terjadi justru pembukaan jalur perundingan langsung antara utusan Trump, Adam Boehler, dan para pemimpin Hamas.

Washington di era Trump, berbeda dengan Biden, tidak meminta izin kepada siapa pun atas tindakan atau niatnya—bahkan jika pihak tersebut adalah Israel, sekutu istimewa Amerika Serikat (AS).

Lebih dari sekadar kejutan, perkembangan ini mengandung makna dan pesan tertentu:

Pertama, pemerintahan Netanyahu dan koalisinya yang dianggap mengganggu oleh Trump serta timnya tidak lagi dipercaya untuk menangani negosiasi yang dianggap penting oleh AS, terutama terkait dengan “sandera”.

Kedua, jika terjadi kemajuan dalam negosiasi langsung antara AS dan Hamas, Israel tidak akan dapat memveto atau menghambatnya. Seperti negara lain, Israel pun harus menghindari memprovokasi “gajah liar di toko porselen”, meskipun memiliki status istimewa di mata Washington.

Ketiga, apa pun yang akan terjadi di hari-hari mendatang mungkin membawa perubahan mengejutkan dalam sikap Trump dan pemerintahannya—bahkan peramal paling lihai pun tidak akan mampu menebak isi “topi sulap” Trump.

Ramallah: Posisi sulit dalam permainan politik

Ramallah tetap tuli terhadap seruan rekonsiliasi, persatuan, dan kesepakatan, dengan terus berpegang teguh pada statusnya sebagai “perwakilan sah satu-satunya”.

Mereka telah berusaha beradaptasi dengan rencana penyelesaian AS-Israel dan membuktikan “moderasi” serta kelayakannya untuk bekerja sama dengan Tel Aviv dan Washington.

Namun, tiba-tiba, perhatian AS justru beralih ke saingan dan rivalnya, Hamas.

Ini adalah perkembangan yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah perpecahan Palestina.

Dahulu, mereka yang menantang dominasi Fatah hanya mendapat dukungan terbatas dari Damaskus, Baghdad, atau Tripoli, dengan akses terbatas ke Moskow atau Beijing.

Kali ini, yang terlibat adalah Washington—dan itu adalah cerita yang benar-benar berbeda.

Beberapa ibu kota lain di kawasan ini juga dikejutkan oleh berita ini, terutama setelah bertahun-tahun kampanye demonisasi, perburuan, dan upaya pemberantasan Hamas yang kini tampaknya sia-sia.

Hamas dan kelompok-kelompok serupa kini hadir di meja perundingan dan kancah diplomasi internasional melalui jalur yang tak terduga.

Mengapa Trump melakukannya?

Pertanyaan ini membingungkan para pengamat, termasuk penulis artikel ini. Namun, dengan “kebijaksanaan retrospektif”, dapat dikatakan bahwa Trump sangat terobsesi dengan isu “sandera dan tahanan”.

Isu ini telah menjadi bagian dari reputasi dan wibawanya, terutama setelah ia berjanji berkali-kali untuk membebaskan mereka dan mengembalikan mereka ke keluarga masing-masing.

Trump tahu bahwa Netanyahu tidak memberikan prioritas yang sama pada masalah ini. Oleh karena itu, ia mengambil kendali langsung dan tidak ingin menyerahkan urusan ini kepada Netanyahu dan mitra koalisinya seperti Bezalel Smotrich, yang memiliki perhitungan politik dan pribadi yang terlalu sempit bagi Trump.

Ada faktor lain di balik keputusan AS. Trump, yang dikenal menyukai negosiasi langsung dengan pihak kuat, melihat situasi Palestina dan menemukan bahwa Otoritas Palestina di Ramallah dalam keadaan “mati suri”—lemah, korup, dan kehilangan kendali atas Gaza serta konflik di wilayah tersebut.

Sementara itu, Hamas, meskipun telah melalui perang selama 15 bulan, tetap menguasai lapangan dan memiliki kendali atas nasib para sandera.

Sebagai sosok yang pragmatis, Trump tidak terpaku pada kebijakan presiden sebelumnya yang menolak berbicara dengan kelompok yang diklasifikasikan sebagai “teroris”.

Ia mengutus utusannya ke Doha, mungkin sambil mengejek “prinsip-prinsip suci” yang selama ini dianut oleh pemerintahan AS sebelumnya.

Trump, yang pernah menuduh Obama dan Hillary Clinton mendukung kelompok Negara Islam (ISIS), tampaknya tidak percaya pada narasi lama bahwa AS tidak bernegosiasi dengan teroris.

Karena menurutnya, pemerintahan sebelumnya tidak hanya bernegosiasi, tetapi juga membantu menciptakan kelompok-kelompok tersebut.

Mengapa Hamas tanggapi undangan Washington?

Hamas tidak pernah menyatakan bahwa mereka menolak negosiasi langsung dengan Washington. Satu-satunya garis merah yang selalu mereka tetapkan dalam semua doktrin mereka adalah larangan bernegosiasi dengan Israel.

Hamas juga telah lama terlibat dalam komunikasi dengan perwakilan tidak resmi Amerika dan Eropa di berbagai tingkatan. Sehingga keputusan mereka untuk merespons AS bukanlah hal yang mengejutkan.

Selain itu, Hamas melihat undangan AS sebagai peluang untuk membebaskan diri dari hambatan yang diciptakan oleh Netanyahu dan timnya.

Israel terus menghalangi tercapainya kesepakatan akhir atau bahkan implementasi perjanjian yang telah disepakati, demi kepentingan politik dan partai dalam negeri Israel.

Saluran negosiasi baru, kali ini langsung dengan Washington, memungkinkan AS mendengar langsung dari Hamas, bukan hanya mendengar tentang mereka dari pihak lain.

Ini memberi Hamas kesempatan untuk menyampaikan narasi mereka sendiri, yang selama ini dikendalikan sepenuhnya oleh Israel untuk menyebarkan propaganda negatif tentang Hamas, rakyat Palestina, dan perjuangan mereka.

Hamas juga ingin menjadi “alamat kedua” bagi rakyat Palestina, setelah jalan mereka untuk bergabung dengan “alamat pertama”—yaitu Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) dan Otoritas Palestina—tertutup akibat syarat-syarat yang diajukan oleh Abbas.

Syarat-syarat tersebut merupakan replikasi penuh dari persyaratan Israel, yang kini bahkan tidak lagi menjadi tuntutan internasional terhadap Hamas.

Hamas pantas diakui secara “de facto”, meskipun belum mencapai pengakuan resmi. Dan dari siapa? Dari negara adidaya.

Ini merupakan pencapaian politik yang dapat meningkatkan posisi Hamas dan membuka pintu ke lebih banyak ibu kota di dunia Arab dan panggung internasional.

Kekhawatiran dan risiko

Pernyataan Adam Boehler yang menyebut kesiapan Hamas untuk meletakkan senjata dan meninggalkan politik tidak bisa dianggap serius.

Jika benar ia mengatakannya, lebih penting untuk memahami motif di balik pernyataannya ketimbang menganggapnya sebagai sikap resmi Hamas.

Pemerintahan Trump sering mengatakan apa pun sesuka hati, tanpa pengawasan atau pertanggungjawaban.

Gagasan bahwa Hamas siap meletakkan senjata hanya masuk akal jika dikaitkan dengan berdirinya negara Palestina dan solusi politik menyeluruh.

Hal ini pernah diungkapkan oleh Musa Abu Marzouk sebelumnya. Lagi pula, senjata bukanlah tujuan akhir, melainkan alat untuk mencapai tujuan.

Senjata tidak akan diletakkan begitu saja di tanah atau diserahkan kepada musuh, kecuali dalam kondisi menyerah total—dan ini jelas bukan situasi Hamas, menurut berbagai sumber Israel dan Barat. Justru, senjata dan para pejuang Hamas bisa menjadi embrio bagi tentara negara Palestina yang diimpikan.

Adapun anggapan bahwa Hamas bersedia meninggalkan politik, itu adalah asumsi yang bahkan tidak realistis bagi AS atau Israel.

Sebaliknya, semua tekanan internasional terhadap Hamas justru berfokus pada mengubahnya menjadi partai politik yang terlibat dalam sistem Palestina dan meninggalkan perjuangan bersenjata—tidak lebih dan tidak kurang.

Lalu, jika Hamas meninggalkan senjata dan politik, apa yang akan mereka lakukan? Apakah mereka akan berubah menjadi organisasi dakwah Islam seperti Jamaah Tabligh? Apakah mereka akan menjadi organisasi sosial atau amal seperti Caritas versi Islam? Apa peran yang bisa dibayangkan bagi Hamas tanpa senjata—terutama tanpa politik?

Ribuan komentar yang menanggapi pernyataan utusan AS hanya menunjukkan ketidaktahuan orang yang menyampaikannya, bukan sikap dan arah politik Hamas yang sebenarnya.

Bahkan tanpa menanyakan Hamas secara langsung, sudah jelas bahwa ini bukanlah kebijakan mereka.

Mereka yang menganalisis dan mengomentari dialog Hamas dengan Washington terbagi dalam berbagai kelompok:

Kaum revolusioner murni, yang tidak ingin perjuangan bersenjata ternoda oleh negosiasi. Mereka melihat segala bentuk hubungan dengan “Setan Besar” sebagai sesuatu yang najis dan harus dihindari. Kelompok ini patut dihormati, meskipun bisa dikritik.

Kelompok yang khawatir, yang mendasarkan kekhawatiran mereka pada pengalaman negosiasi langsung antara AS dan PLO di masa lalu. Mereka juga patut dihormati, meskipun terkadang terlalu menggurui Hamas. Seolah-olah gerakan ini baru mengenal politik dan perjuangan nasional, padahal Hamas sudah teruji dalam negosiasi tidak langsung dengan Israel dan menunjukkan ketangguhan serta kecerdikan tinggi.

Pejabat Otoritas Palestina dan PLO, yang pernah menjalani negosiasi dengan Israel dari era Oslo hingga sekarang dengan hasil yang minim dan penuh kegagalan. Sebagian dari mereka memberi “nasihat sinis” kepada Hamas agar tidak mengulangi kesalahan mereka. Sementara sebagian lainnya berharap Hamas ikut terjerumus dalam kompromi yang mereka buat sebelumnya, dengan logika “tidak ada yang lebih baik dari yang lain” atau “kami yang memulai, kalian yang menyusul”.

Kesimpulan

Tanpa berlebihan atau meremehkan, perundingan langsung antara Hamas dan pemerintahan Trump adalah titik balik penting dan pencapaian politik bagi Hamas.

Perkembangan ini bisa membawa dampak besar di masa depan—baik dengan menciptakan terobosan dalam negosiasi perang di Gaza, atau mungkin tanpa hasil yang jelas.

Saluran negosiasi ini sendiri sudah menjadi langkah penting, terlepas dari hasil akhirnya. Jika sukses sepenuhnya, mungkin Hamas harus membuat kompromi yang sulit, tetapi jika gagal total, dampaknya juga bisa besar.

Bahkan, negosiasi ini mungkin lebih sulit daripada perundingan tidak langsung sebelumnya. Berurusan dengan Washington sebagai mediator bisa lebih mudah daripada bernegosiasi langsung dengannya sebagai pihak utama.

Namun, taruhan dalam perundingan ini sangat tinggi, dengan risiko dan peluang besar. Harapannya, Hamas dapat memanfaatkan semua pengalaman dan keahliannya untuk keluar dari proses ini dengan hasil maksimal—jika tidak banyak, setidaknya sedikit keuntungan yang bisa diperoleh.

*Arab Al-Rantawi merupakan Direktur Pusat Studi Politik Yerusalem. Penulis dan analis politik di surat kabar harian Al-Dustour. Dia bekerja sebagai koresponden untuk sejumlah surat kabar, majalah, dan kantor berita. Ia juga Penulis dan editor beberapa buku tentang masalah Palestina, demokrasi, dan reformasi politik di dunia Arab. Tulisan ini diambil dari situs Aljazeera.net dengan judul “Al-Tafāwuḍ Ma’a Ḥamās, Limādzā Aqdama Trāmb ‘Alaihi wa Limādzā Qabalat al-Ḥarakah?”.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular