Oleh: Marco Carnelos*
Dua pemimpin yang terobsesi pada warisan politik masing-masing, dan satu di antaranya juga terjebak dalam kultus pribadi, kini mendorong Timur Tengah ke ambang krisis paling berbahaya.
Serangan Israel terhadap Iran bulan ini menandai babak paling berisiko dari ambisi lama Perdana Menteri Benjamin Netanyahu: perubahan rezim di Teheran.
Selama 4 dekade, Netanyahu terus memimpikan tumbangnya Republik Islam Iran. Kini, ia tampak siap mengambil langkah paling ekstrem demi mewujudkannya.
Dalam pandangan Tel Aviv, inilah saatnya mengubah keseimbangan strategis di Timur Tengah secara permanen—tentu saja demi keuntungan Israel.
Ambisi ini tidak bisa dilepaskan dari upaya menghancurkan Hamas dan mengosongkan Gaza dari penduduknya, serta upaya melumpuhkan kepemimpinan politik dan militer Hizbullah di Lebanon.
Bahkan keruntuhan rezim Bashar al-Assad di Suriah, meski belum tuntas, juga memiliki benang merah dengan strategi ini, meski hasil akhirnya belum tentu berpihak pada Israel.
Kini, Netanyahu mengambil langkah paling provokatif: menyerang Iran. Bukan melalui invasi darat—yang secara militer hampir mustahil dilakukan—tetapi dengan serangan udara presisi yang ditujukan untuk mengeliminasi kepemimpinan militer Iran dan kemampuan yang dianggap mengancam eksistensi Israel, termasuk fasilitas nuklir dan rudal balistik.
Menurut sebuah lembaga HAM berbasis di AS, serangan udara Israel sejauh ini telah menewaskan lebih dari 600 orang di Iran, termasuk lebih dari 250 warga sipil.
Tujuan utama yang dikemukakan Israel adalah mencegah Iran mendapatkan senjata nuklir yang dapat digunakan untuk menyerang Israel.
Tujuan kedua adalah menciptakan krisis legitimasi di dalam negeri Iran, guna memicu perpecahan internal dan membuka jalan bagi keruntuhan Republik Islam.
Hasil ideal versi Tel Aviv? Tumbangnya pemerintahan ulama dan naiknya rezim pro-Barat di Teheran.
Bersama Arab Saudi, Iran akan ditarik masuk ke dalam kerangka Abraham Accords—sebuah tatanan “perdamaian dan pembangunan” di kawasan, tentu saja berdasarkan syarat dan ketentuan yang dirumuskan, dipaksakan, dan dijaga oleh hegemoni Amerika Serikat (AS) dan Israel.
Situasi ini menimbulkan pertanyaan besar bagi politik luar negeri Amerika, khususnya bagi Donald Trump, tokoh yang tengah bersiap kembali ke Gedung Putih.
Akankah Trump meninggalkan doktrin “America First” demi mendukung perang Israel yang dapat menyeret AS ke dalam konflik regional besar-besaran?
Netanyahu dan Trump, dua tokoh yang sama-sama terobsesi pada warisan politik masing-masing, kini tampak bahu-membahu mendorong kawasan yang sudah rapuh ini menuju jurang konflik terbuka.
Taruhannya bukan hanya masa depan Iran atau Israel, melainkan kestabilan seluruh Timur Tengah—dan mungkin, dunia.
Persepsi tentang kerentanan
Dalam konteks ini, masa depan rakyat Palestina berada dalam ketidakpastian yang mendalam.
Dalam skenario terbaik sekalipun, mereka kemungkinan besar akan terus terkungkung di kantong-kantong sempit di Tepi Barat dan Jalur Gaza, hidup dalam tekanan tanpa henti—kalau bukan teror langsung—dari pemukim dan tentara Israel.
Dalam skenario terburuk, mereka bisa dipindahkan secara paksa ke tempat lain.
Presiden Amerika Serikat Donald Trump, sejalan dengan gaya politiknya yang berpusat pada diri sendiri, tampaknya tergoda untuk bergabung dalam rencana besar ini.
Ia mencium peluang keberhasilan yang sebelumnya tidak pernah tampak. Iran, yang selama ini menjadi kekuatan utama di poros perlawanan terhadap hegemoni Israel dan Barat, kini tampak jauh lebih rentan.
Persepsi ini, baik benar maupun keliru, kini menjadi fondasi bagi eskalasi terbaru.
Jika mimpi lama Netanyahu benar-benar terwujud, Trump tampaknya ingin menjadi bagian dari keberhasilan tersebut.
Ia ingin mengukir namanya dalam sejarah sebagai tokoh yang berhasil mengubah lanskap politik Timur Tengah secara dramatis.
Bagi Netanyahu sendiri, keberhasilan ini bukan hanya akan memperkuat posisinya dalam kekuasaan, tetapi juga berpotensi menggugurkan kasus-kasus hukum yang membayanginya, sekaligus mematri namanya sebagai pemimpin yang telah menghilangkan ancaman utama terhadap Israel sejak 1948.
Beberapa pekan sebelumnya, pemerintahan Trump sempat mencoba menghidupkan kembali apa yang disebut sebagai “opsi Libya”.
Yakni, pendekatan damai yang membuat Iran secara sukarela menghentikan program pengayaan uranium melalui kesepakatan yang dimediasi.
Namun, mengingat nasib tragis yang dialami Muammar Gaddafi pasca-perjanjian serupa, tawaran semacam ini tentu terdengar mengerikan di telinga para pemimpin Iran.
Awalnya, AS memberikan sinyal bahwa Iran boleh mempertahankan program pengayaan uranium dalam batas tertentu dan di bawah pengawasan internasional yang ketat, asalkan mereka menyerahkan seluruh cadangan uranium yang telah diperkaya hingga 60 persen.
Namun, seperti sering terjadi, Gedung Putih kemudian mundur dari sikap awalnya dan kembali pada tuntutan “nol pengayaan”, mengikuti tekanan dari Netanyahu.
Hingga laporan ini ditulis, komunitas internasional masih menunggu keputusan Trump: apakah ia akan secara langsung ikut serta dalam perang terhadap Iran.
Keputusan ini sangat krusial, karena untuk benar-benar melumpuhkan program nuklir Iran, termasuk dimensi militernya yang dituduhkan, fasilitas Fordow yang tersembunyi di bawah gunung harus dihancurkan.
Hanya AS yang memiliki bom penembus bunker dan pesawat pengangkut berdaya tinggi yang mampu melaksanakan serangan semacam itu.
Dengan demikian, keputusan Trump bukan hanya akan menentukan arah keterlibatan Amerika, tetapi juga menjadi penentu apakah krisis Timur Tengah akan menuju stabilitas baru—atau justru jatuh ke dalam konflik regional yang lebih luas dan lebih mematikan.
Deja Vu yang menyesakkan
Namun, Presiden Donald Trump menghadapi dilema besar: basis pendukungnya dari kalangan MAGA (Make America Great Again) yang selama ini percaya pada janji “America First” dan penolakan terhadap perang tak berkesudahan.
Mantan penasihat senior Trump, Steve Bannon, telah mengeluarkan peringatan keras agar tidak menyeret Amerika ke dalam perang melawan Iran.
Untuk memahami betapa cepatnya angin berbalik di kalangan konservatif, cukup simak wawancara pedas komentator kanan Tucker Carlson terhadap Senator Ted Cruz—salah satu pendukung paling vokal Israel di Kongres.
Namun, yang paling menyedihkan dari seluruh perkembangan ini adalah rasa deja vu yang begitu kuat. Seolah-olah dunia sedang dipaksa mengulang babak lama dari keterlibatan AS di Timur Tengah.
Segala tudingan terkait program nuklir Iran sejauh ini bersifat spekulatif belaka. Pada Maret lalu, Direktur Intelijen Nasional AS, Tulsi Gabbard, menyampaikan kepada Kongres bahwa komunitas intelijen masih menilai Iran tidak sedang membangun senjata nuklir.
Sementara Pemimpin Tertinggi Ayatollah Ali Khamenei belum memberi otorisasi atas program senjata nuklir yang dihentikannya pada 2003. Singkatnya, tidak ada ancaman nyata—bertolak belakang dengan klaim Israel.
Situasi ini mengingatkan kita pada tahun 2003, ketika pemerintahan George W. Bush mengklaim memiliki bukti intelijen soal senjata pemusnah massal untuk membenarkan invasi ke Irak. Beberapa bulan kemudian, klaim tersebut terbukti palsu.
Kali ini, meskipun badan intelijen AS menyimpulkan bahwa Iran tidak sedang membangun senjata nuklir, Presiden Trump tampaknya bersiap melangkah ke perang yang sesungguhnya tidak perlu—perang yang, menurut kata-kata Steve Bannon sendiri, bisa “mengoyak negeri ini dari dalam”.
Dukungan Trump terhadap agresi terbaru Israel memberi isyarat bahwa masalah utamanya bukan lagi program nuklir Iran, melainkan keberadaan Iran itu sendiri dalam konstelasi politik saat ini.
Aset militer Amerika telah mulai digeser ke posisi strategis menjelang kemungkinan serangan, meskipun keputusan akhir belum diumumkan.
Dalam situasi genting seperti ini, bukan tidak mungkin akan muncul sebuah operasi palsu—false flag—yang segera dikaitkan dengan Iran lewat narasi media yang jinak dan manipulatif.
Tujuannya: mendorong para pemimpin yang belum berpengalaman, minim wawasan, dan cenderung gegabah, untuk mengambil “keputusan yang benar”.
Dan sayangnya, dalam hal ini, Trump tampaknya cocok dengan gambaran tersebut.
*Marco Carnelos adalah konsultan senior, Future Group Holdings, mantan diplomat Italia, penasihat Timur Tengah perdana menteri prodi dan berlusconi, Utusan Khusus untuk Suriah dan proses perdamaian Timur Tengah dan Duta Besar untuk Irak. Tulisan ini diambil dari middleeasteye.net dengan judul “Will Trump abandon ‘America First’ to join Israel’s war on Iran?”.