Monday, December 9, 2024
HomeBeritaSatu tahun genosida Gaza: Kronologi dan dampak brutalitas penjajah Israel

Satu tahun genosida Gaza: Kronologi dan dampak brutalitas penjajah Israel

Pada tanggal 7 Oktober 2023, penjajah Israel melancarkan perang dahsyat di Jalur Gaza. Selama setahun, mereka melakukan tindakan genosida dan melakukan ribuan pembantaian.

Agresi Israel menyebabkan lebih dari 41.000 orang meregang nyawa, termasuk sekitar 17.000 anak-anak dan lebih dari 11.000 wanita, selain itu lebih dari 96.000 orang terluka, dan 10.000 orang hilang.

Menurut Komite Internasional untuk Pembela Hak-Hak Rakyat Palestina (Hashd), penjajah Zionis melakukan lebih dari 4.650 pembantaian terhadap warga sipil selama perang, yang sebagian besar menjadi sasaran di dalam rumah mereka, atau di pusat-pusat penampungan.

Hal itu terjadi di tengah upaya pengungsian paksa lewat perintah penjajah Israel yang memaksa dua juta orang atau setara 90% dari total populasi Gaza.

Penjajah melakukan kejahatan perang dan pelanggaran hak asasi manusia, termasuk secara teratur menggunakan anak-anak Palestina dan keluarga mereka sebagai perisai manusia selama pertempuran, menurut dokumen yang dikumpulkan oleh Defense for Children International.

Otoritas penjajah juga menangkap 5.000 tahanan dari Jalur Gaza, sesuai dengan Undang-Undang “Pejuang yang Melanggar Hukum”, dan melakukan berbagai penyiksaan dan tekanan psikologis.

Para pekerja di organisasi-organisasi internasional dan kemanusiaan juga tidak luput dari serangan pendudukan, yang menewaskan sekitar 200 staf.

Mereka juga menyerang konvoi bantuan dan menewaskan sedikitnya 172 jurnalis. Banyak yang menjadi sasaran adalah infrastruktur sebagian besar institusi media. Hal itu dilakukan untuk melumpuhkan kekuatan media untuk melakukan peliputan kejahatan HAM Israel.

Pengeboman udara intens

Pada tanggal 7 Oktober 2023, kelompok pejuang kemerdekaan Palestina melancarkan operasi militer skala besar melawan Israel, yang disebut pertempuran “Taufan Al-Aqsa” yang berhasil merugikan kekuatan penjajahan yang memblokade Gaza.

Foto dan video keberhasilan pejuang mengisi berita utama pemberitaan media-media antarbangsa.

Pada hari yang sama, Israel menyatakan keadaan perang, dan bersumpah menghapus kekuasaan Hamas, melemahkan kekuatan militernya di Jalur Gaza, dan membebaskan sandera Israel di Jalur Gaza, yang disebut Operasi “Pedang Besi.”

Tentara Israel melancarkan serangan udara besar-besaran yang menargetkan rumah, rumah sakit, dan sekolah, yang mengakibatkan ratusan orang mati syahid dan ribuan lainnya terluka, di tengah kehancuran besar-besaran pada bangunan dan fasilitas vital.

Pada 9 bulan yang sama, Israel memberlakukan blokade total terhadap Gaza, menutup semua perbatasan serta memutus pasokan listrik, air, makanan, dan energi. Dalam hitungan hari, perintah pengosongan wilayah utara Gaza dikeluarkan sebagai persiapan untuk serangan udara yang lebih besar.

Rencana tiga tahap penjajah

Pada 20 Oktober 2023, Menteri Pertahanan Israel, Yoav Gallant, mengungkapkan rencana perang di Gaza yang terbagi dalam tiga tahap. Tahap pertama berfokus pada penghancuran pejuang dan infrastruktur Hamas, dimulai dengan serangan udara dan diikuti invasi darat. Tahap kedua melibatkan eliminasi sisa-sisa perlawanan dengan intensitas lebih rendah, menargetkan sasaran tertentu.

Tahap ketiga bertujuan membentuk sistem keamanan baru di Gaza yang menjamin keamanan Israel serta kawasan sekitarnya.

Serangan darat besar-besaran

Pada 27 Oktober, Israel memulai serangan darat besar-besaran di wilayah utara Gaza, yang berlangsung selama sekitar tiga bulan di bawah serangan artileri berat. Serangan ini menargetkan berbagai area luas, termasuk sasaran sipil di Gaza dan Provinsi Utara.

Pada pertengahan Desember, militer Israel mulai mundur secara bertahap dari beberapa wilayah di utara dan Gaza, meski kembali melakukan serangan di beberapa lokasi lainnya.

Israel secara dinamis mengubah posisi dan melancarkan operasi cepat selama periode ini.

Pada pertengahan Desember, tentara mulai menarik diri secara bertahap dari daerah-daerah Utara Gaza, diikuti dengan penarikan sebagian dari Kegubernuran Gaza.

Namun mereka kembali menyusup ke tempat lain di kedua kegubernuran tersebut, mengubah posisinya dan melakukan operasi cepat.

Pada akhir Oktober 2023, Israel memperluas operasi daratnya di Gaza Tengah, termasuk bentrokan hebat di Kamp Bureij dan Maghazi.

Pada Januari 2024, pertempuran mencapai wilayah selatan, dengan serangan besar di Khan Younis. Serangan ini meningkatkan korban, termasuk 21 tentara Israel yang tewas dalam satu operasi pada 22 Januari. Jumlah korban Palestina melebihi 30.000 jiwa.

Pada Februari 2024, Israel melanjutkan serangan ke Khan Younis dengan serangan udara dan artileri berat, menghancurkan rumah dan menargetkan rumah sakit.

Di Gaza Utara, terjadi pembantaian yang menewaskan 112 warga Palestina dan melukai 800 lainnya.

Pada April, Israel menyerbu Rumah Sakit Al-Shifa setelah pengepungan dua minggu, menyebabkan ratusan korban dan menghancurkan fasilitas medis. Israel juga menargetkan kendaraan milik organisasi bantuan, menewaskan tujuh pekerja internasional.

Pada bulan yang sama, Israel melancarkan operasi militer besar di Gaza Utara, terjadi pertempuran sengit di Kamp Jabalia dengan serangan berat di wilayah padat penduduk. Operasi juga berlangsung di Rafah timur.

Meski kemudian mundur dari utara, Israel melanjutkan invasi di Rafah dan pusat kota, mengabaikan peringatan internasional.

Pasukan Israel memperluas kontrol di wilayah padat penduduk, menghancurkan lahan dan bangunan, serta mengubah lanskap geografis Rafah, berusaha membangun garis kontrol di sepanjang perbatasan Mesir.

Strategi kelaparan

Israel menggunakan strategi kelaparan sebagai senjata dalam perang Gaza. Sejak awal genosida, blokade total diberlakukan untuk menekan kelompok perlawanan agar membebaskan sandera. Semua perbatasan ditutup, menghalangi bantuan kemanusiaan dan medis. Selain itu, Israel menghancurkan sumber pangan lokal, termasuk sektor pertanian dan perikanan, sebagai bagian dari strategi untuk melemahkan penduduk Gaza secara ekonomi dan fisik.

Tindakan Israel menyebabkan krisis kemanusiaan yang parah di Gaza. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), sejak bulan-bulan pertama perang, sekitar 50% penduduk, atau 1,17 juta orang, berada dalam kondisi darurat terkait ketahanan pangan.

Lebih dari 500.000 orang berada dalam situasi bencana, dengan kelaparan dan kekurangan pangan yang sangat akut. UNICEF juga melaporkan bahwa pada Februari 2024, satu dari enam anak di bawah dua tahun mengalami malnutrisi parah, dengan 3% di antaranya menderita kekurangan gizi akut yang mengancam jiwa.

Sejak awal serangan, Israel memutus pasokan bahan bakar, listrik, dan air ke Gaza, menyebabkan penutupan total instalasi penyaringan air dan sistem sanitasi.

Meluasnya penyakit

Hal ini memperburuk krisis air bersih dan kebersihan, memicu penyebaran penyakit seperti disentri, tifus, dan polio akibat air minum yang terkontaminasi. Selain itu, kepadatan di tempat penampungan pengungsi meningkatkan penyebaran penyakit menular seperti diare, infeksi saluran pernapasan, penyakit kulit, dan hepatitis, diperparah oleh kekurangan gizi, layanan sanitasi yang buruk, serta runtuhnya layanan kesehatan.

Selain itu, para petugas kesulitan mengumpulkan sampah dan mengakses tempat pembuangan akhir, mengakibatkan penumpukan ratusan ribu ton sampah di jalan dan antara tenda pengungsi, yang meningkatkan risiko penyebaran penyakit.

Perang dan keruntuhan sistem kesehatan memperburuk keadaan 350.000 warga Gaza yang menderita penyakit kronis.

Cedera akibat perang sering berujung pada kematian atau cacat permanen karena kurangnya perawatan, serta adanya masalah kesehatan mental yang meningkat akibat kondisi perang yang sulit, termasuk kehilangan orang-orang terkasih dan perpindahan terus-menerus.

Selama perang di Gaza, Israel melakukan penghancuran luas yang mencakup kota, kamp, dan pemukiman, menghancurkan seluruh lingkungan dan infrastruktur vital untuk layanan dasar seperti listrik dan air.

Menurut Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan, lebih dari 60% bangunan dan 65% jalan rusak total atau sebagian hingga pertengahan Agustus 2024. Serangan udara dan invasi darat mengganggu kehidupan sehari-hari, merusak 15 sektor vital termasuk ekonomi, pendidikan, dan kesehatan.

Perang tersebut mengakibatkan kehancuran besar-besaran terhadap institusi pemerintah dan swasta, termasuk fasilitas ekonomi, industri, pertanian, sekolah, universitas, rumah sakit, dan lebih dari 160 masjid serta tiga gereja.

Kerusakan parah juga dialami sektor perikanan, dengan 70% kapal hancur. Laporan PBB menunjukkan 80% hingga 96% aset pertanian di Gaza rusak pada awal 2024.

Perekonomian Gaza anjlok 81% pada kuartal terakhir 2023, menyusut menjadi kurang dari sepertiga dari tingkat 2022 pada pertengahan 2024.

Negosiasi gencatan senjata

Upaya diplomasi terkait pertukaran tahanan dan gencatan senjata di Gaza dimulai sejak perang meletus dan berlangsung selama setahun, dipimpin oleh Amerika Serikat dengan perantara Qatar dan Mesir.

Negosiasi yang melibatkan banyak proposal dan pertemuan tidak menghasilkan kesepakatan yang signifikan. Israel menolak gencatan senjata dan Hamas menuntut penarikan penuh pasukan Israel.

Selama periode ini, hanya satu gencatan senjata sementara tercapai, berlangsung tujuh hari, di mana terjadi pertukaran lebih dari 100 tahanan Israel dengan sekitar 240 warga Palestina.

Pizaro Idrus
Pizaro Idrus
Pengajar HI Universitas Al Azhar Indonesia, Mahasiswa PhD Hubungan Antarbangsa Universitas Sains Malaysia.
ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular