Kabinet perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu terus dirundung konflik. Pertikaian antara sesamanya telah menghasilkan serangan satu sama lain di depan publik. Hal ini terjadi tak lepas dari strastegi perang yang hingga kini gagal menaklukan Hamas dan membebaskan sandera.
Situasi yang di alami penjajah Israel juga terus memburuk dengan banyaknya kematian para tentara di Gaza dan Lebanon. Setidaknya ada 64 tentara kolonial yang tewas selama Oktober, dan 23 warga, sehingga total kesemuanya menjadi 87.
Ini juga menandai peningkatan tajam dalam jumlah kematian yang tercatat dibandingkan dengan bulan-bulan terakhir.
Sementara itu, tentara Israel juga melaporkan sejak awal November, sudah tujuh prajuritnya yang tewas.
Puncak ketegangan di kabinet Netanyahu terjadi pada Selasa malam (5/11). Dalam Keputusan yang mendadak, Netanyahu memecat Menteri Pertahanan Yoav Gallant. Kabarnya, Gallant hanya diberi tahun 10 menit sebelum dipecat.
“Sayangnya, meskipun pada bulan-bulan pertama perang ada kepercayaan dan kerja sama yang produktif, dalam beberapa bulan terakhir kepercayaan itu retak antara saya dan Menteri Pertahanan,” kata Netanyahu, seperti dilansir Times of Israel.
Netanyahu juga menambahkan bahwa Gallant bertindak bertentangan dengan keputusan kabinet yang telah disepakati bersama.
Netanyahu menegaskan bahwa ia telah berupaya memperbaiki perbedaan di antara mereka, namun perpecahan yang terjadi justru semakin dalam yang mempengaruhi persepsi publik dan merusak keamanan Israel.
Sementara itu, Yoav Gallant membeberkan alasan di balik pemecatannya oleh Perdana Menteri Benjamin Netanyahu.
Dalam konferensi pers yang digelar Selasa malam, Gallant tampil emosional saat menjelaskan alasan tersebut.
Ia mengungkapkan tiga alasan utama: pentingnya wajib militer bagi pria Yahudi Haredi, kebutuhan mendesak untuk memulangkan sandera dari Gaza, dan perlunya penyelidikan negara terhadap serangan Hamas pada 7 Oktober lalu.
Terkait wajib militer bagi pria Haredi, Gallant menyatakan bahwa masalah ini bukan hanya masalah sosial, tetapi juga masalah yang sangat krusial bagi eksistensi Israel dan keselamatan Israel.
Menurutnya, semua warga Israel harus terlibat dalam tugas mempertahankan negara.
Gallant juga menekankan perlunya perjanjian untuk memulangkan 101 sandera yang masih ditahan Hamas di Gaza.
“Siapa pun yang tewas di antara sandera tidak akan pernah bisa dikembalikan. Tidak ada pengampunan bagi mereka yang meninggalkan sandera,” ucapnya seraya meminta Israel melakukan negosiasi dengan Hamas untuk membebaskan sandera.
Gallant sendiri merupakan aktor utama genosida Gaza yang menjadi bumerang bagi kolonial Israel itu sendiri. Pada 9 Oktober 2023, Gallant, mengumumkan pengepungan total terhadap Gaza.
“Tidak ada listrik, tidak ada makanan, tidak ada air, tidak ada bahan bakar. Semuanya ditutup,” ucapnya.
Gallant menyebut para pejuang Hamas sebagai “manusia hewan”, dan menyatakan: “Kami sedang melawan manusia hewan, dan kami bertindak sesuai dengan itu.”
Pernyataan ini mendapat kecaman karena nada yang merendahkan kemanusiaan, yang bisa memicu kekerasan terhadap warga sipil.
Melansir Al Jazeera, salah satu perbedaan terbesar antara Menteri Pertahanan Israel, Yoav Gallant, dan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu adalah mengenai upaya untuk mencapai perjanjian gencatan senjata permanen di Gaza guna membebaskan para sandera yang masih ditahan oleh Hamas.
Pada November 2023, Netanyahu menyetujui kesepakatan gencatan senjata sementara yang memungkinkan pembebasan 105 warga Israel yang ditawan, dengan imbalan pembebasan 240 tahanan Palestina.
Namun, sejak saat itu, Netanyahu dianggap telah menggagalkan setiap proposal gencatan senjata yang diajukan, dengan tujuan untuk memperpanjang perang di Gaza yang menurut para analis dilakukan untuk melanggengkan karier politiknya.
Pada 31 Juli 2024, pemimpin politik Hamas, Ismail Haniyeh, yang juga menjabat sebagai kepala negosiator Hamas, dibunuh. Haniyeh ditembak saat menghadiri pelantikan Presiden Iran Masoud Pezeshkian di Teheran. Meski Gallant tidak mengutuk pembunuhan tersebut, ia terus menyerukan agar dilakukan kesepakatan untuk membebaskan sandera Israel.
Keluarga-keluarga sandera Israel mempercayai bahwa pemecatan Gallant adalah bukti bahwa Netanyahu sengaja menggagalkan kesepakatan gencatan senjata.
Perseteruan panjang
Sejatinya, hubungan antara Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan Menteri Pertahanan Yoav Gallant sudah diliputi ketegangan sebelum Operasi Taufan Al Aqsha pada 7 Oktober 2023.
Ketegangan ini muncul sejak awal tahun, saat Netanyahu menghadapi gelombang protes besar terkait rencananya untuk melemahkan kekuasaan lembaga yudikatif.
Pada Maret 2023, saat protes berlangsung, Gallant mengkritik Netanyahu dalam pidato televisi. Ia menyebutkan bahwa reformasi yudisial yang diusulkan berpotensi membahayakan keamanan nasional karena dapat memperburuk perpecahan politik di kalangan lembaga keamanan.
Reformasi ini, yang mendapat banyak kritik dari kalangan analis dan pengamat, diperkirakan akan membatasi kekuasaan Mahkamah Agung dan memberi kekuatan lebih besar kepada cabang legislatif dan eksekutif pemerintah.
Banyak pihak menganggap Netanyahu, yang tengah menghadapi dakwaan korupsi dan skandal suap, berusaha mendorong reformasi ini sebagai cara untuk menghindari proses hukum.
Teranyar, Gallant mengkritik strategi perang Netanyahu yang dianggapnya tanpa arah yang jelas karena Upaya sang perdana Menteri melebarkan peperangan di Lebanon dan Iran di Tengah kegagalan membebaskan sandera.
Gallant mengutarakan hal itu lewat surat kepada Netanyahu dan kabinet keamanan beberapa jam sebelum Israel melancarkan serangan udara terhadap Iran pada Jumat.
“Saat ini, kita beroperasi tanpa kompas yang diperkuat dan tanpa tujuan perang yang diperbarui. Hal ini mengganggu pelaksanaan kampanye dan pengambilan keputusan kabinet,” ujar Gallant dikutip Jerusalem Post.
Dua menteri ekstrimis Zionis saling serang
Konflik tidak hanya terjadi pada Netanyahu dan Gallant, tapi juga di antara para Menteri. Hal ini terjadi antara Menteri Keamanan Nasional Israel, Itamar Ben Gvir dan Menteri Keuangan Bezalel Smotrich.
Keduanya dikenal sebagai dua menteri paling ekstrem di tubuh kabinet Netanyahu.
Ben-Gvir secara berulang menyatakan keyakinannya bahwa hak-hak Israel Yahudi lebih penting daripada hak asasi manusia Arab. Ia juga pernah mengatakan bahwa pasukan keamanan harus membunuh daripada menangkap musuh. Komentarnya telah memicu kemarahan baik di Israel maupun di luar negeri.
Sementara itu, Smotrich pernah menyatakan bahwa membiarkan 2 juta orang di Gaza mati kelaparan adalah bentuk moral sampai sandera Israel dikembalikan. Komentarnya juga menuai kecaman luas. Bahkan erdana Menteri Inggris Keir Starmer menyebut kata-katanya sebagai “menjijikkan.”
Meski keduanya adalah Menteri ekstrimis Zionis, hal itu tak menghalangi mereka untuk saling sikut.
Pada akhir Oktober lalu, Menteri Keamanan Nasional Israel, Itamar Ben Gvir, menyebut Menteri Keuangan Bezalel Smotrich sebagai sosok yang sombong dan tidak memahami masalah keamanan dan ekonomi.
Menurut media Israel Hayom, Ben Gvir menyampaikan rasa frustrasinya kepada orang-orang terdekatnya mengenai kebijakan Smotrich.
“(Smotrich) seseorang yang sangat sombong, merasa dirinya ahli dalam urusan keamanan dan ekonomi, bahkan kini berpikir ia memahami keamanan dalam negeri… padahal sebenarnya ia tidak tahu apa-apa,” ucap Ben Gvir.
Kemarahan Ben Gvir terhadap Smotrich dikaitkan dengan pernyataan Smotrich kepada para wartawan sebelumnya.
Kala itu, Smotrich mengkritik permintaan Ben Gvir untuk menggandakan anggaran Kementerian Keamanan Nasional menjadi 20 miliar shekel (sekitar 5,4 miliar dolar AS).
Smotrich menilai, Ben Gvir meminta peningkatan anggaran kementeriannya tanpa menunjukkan hasil yang nyata dalam perang di Gaza.
Sebelumnya, Yedioth Ahronoth melaporkan perselisihan antara Ben Gvir dan Smotrich pernah terjadi di kantor Perdana Menteri Benjamin Netanyahu pada September lalu.
Menurut laporan tersebut, perdebatan itu berakhir dengan pertengkaran dan saling menyalahkan.
Ben Gvir, dalam pertemuan dengan Netanyahu, mempresentasikan rencana untuk membangun 5.000 fasilitas penahanan baru dan meminta anggaran khusus untuk proyek tersebut.
Namun, Smotrich membalas dengan nada tinggi, meminta Ben Gvir untuk menggunakan dana yang sudah ada di kementeriannya terlebih dahulu sebelum mengajukan anggaran baru.
Perselisihan antara Smotrich dan Ben Gvir ini terjadi meskipun keduanya berasal dari partai sayap kanan yang ekstrem; Smotrich memimpin Partai Zionisme Religius, sementara Ben Gvir mengepalai Partai Kekuatan Yahudi.
Kedua partai tersebut mengadopsi kebijakan ekstrem, termasuk permusuhan terhadap warga Arab dan Palestina, serta mendukung perluasan pemukiman Israel di wilayah yang diduduki.
Dalam beberapa bulan terakhir, Smotrich dan Ben Gvir sama-sama mengambil sikap yang keras, seperti menolak menghentikan genosida di Gaza, menyerukan pemiskinan warga Palestina di Gaza, mendesak tindakan menuju aneksasi Tepi Barat yang diduduki, dan mengurangi hak-hak tahanan Palestina.