Sunday, March 16, 2025
HomeAnalisis dan OpiniOPINI: Peran Iran dalam kekacauan terbaru di Suriah

OPINI: Peran Iran dalam kekacauan terbaru di Suriah

Oleh: Samir Al-‘Arki

Kementerian Luar Negeri Turki memberi tanggapan mengenai tujuan hubungan dengan Teheran.

“Hubungan bilateral kami dengan Iran bertujuan untuk berkembang berdasarkan prinsip non-intervensi dalam urusan dalam negeri, saling menghormati, dan bertetangga yang baik.” demikian pernyataan resminya.

Kerangka ini sejalan dengan prinsip-prinsip Perjanjian Persahabatan yang ditandatangani oleh kedua negara pada April 1926.

Perjanjian itu mencakup prinsip-prinsip dasar dalam hubungan bilateral, yaitu persahabatan, netralitas, dan menjauhi penyebab perang.

Perjanjian ini juga menyebutkan kemungkinan kerja sama untuk menghilangkan ancaman separatis di dalam wilayah masing-masing negara.

Hubungan antara kedua negara terus berjalan di antara persaingan dan kerja sama selama beberapa decade. Hubungan itu dilatar belakangi sejarah konflik panjang antara Kesultanan Utsmaniyah dan Dinasti Safawi yang berakhir dengan Perjanjian “Qasr-e Shirin” pada Mei 1639.

Perjanjian ini mengakhiri hampir satu setengah abad peperangan antara kedua belah pihak dan menetapkan perbatasan Iran saat ini dengan Turki dan Irak.

Dalam dua dekade terakhir, persaingan geopolitik dan geostrategis antara kedua negara semakin meningkat. Terutama setelah Iran memperluas pengaruhnya di Irak pasca jatuhnya rezim Saddam Hussein pada 2003.

Pengaruh Iran juga semakin luas di Suriah setelah Revolusi 2011, serta kehadiran intensifnya di Lebanon dan Yaman.

Semua perkembangan ini mengurangi posisi strategis Turki. Namun, situasi kembali berubah setelah jatuhnya rezim Bashar al-Assad pada 8 Desember lalu, yang beriringan dengan melemahnya pengaruh politik dan militer Hizbullah Lebanon.

Perubahan ini menguntungkan Turki secara strategis, sehingga Iran merasa mengalami kekalahan besar dari Ankara untuk kedua kalinya dalam beberapa tahun terakhir.

Oleh karena itu, ketegangan yang terjadi dalam beberapa hari terakhir—terutama setelah peringatan dari Menteri Luar Negeri Turki, Hakan Fidan—sebenarnya mencerminkan ketidakpuasan yang terpendam di antara kedua negara.

Peringatan Fidan

Dalam sebuah wawancara dengan Al Jazeera, Menteri Luar Negeri Turki mengkritik kebijakan luar negeri Iran yang bergantung pada kelompok bersenjata.

Ia menyebut bahwa kebijakan ini membawa risiko besar meskipun ada beberapa keuntungan yang diperoleh. Ia juga menekankan bahwa Iran membayar harga lebih mahal untuk mempertahankannya.

Menanggapi pertanyaan mengenai kemungkinan dukungan Iran terhadap Pasukan Demokratik Suriah (SDF) atau Unit Perlindungan Rakyat Kurdi (YPG) dalam menghadapi Turki, Fidan memperingatkan Iran.

“Jangan melempar batu jika Anda tinggal di rumah kaca. Jika anda berusaha mengganggu suatu negara dengan mendukung kelompok tertentu di sana, negara tersebut juga dapat mengganggu Anda dengan mendukung kelompok lain di negara Anda,” katanya.

Setelah pernyataan ini, kedua negara saling memanggil diplomat mereka untuk menyampaikan keberatan.

Ketidakpuasan yang terpendam

Peringatan Fidan tidak bisa dilepaskan dari ketidakpuasan yang telah lama menumpuk di Ankara terhadap Teheran. Terutama terkait campur tangan Iran dalam keamanan nasional Turki dan ketidakpatuhannya terhadap Perjanjian Persahabatan 1926.

Iran dituduh melakukan berbagai tindakan yang mengancam kepentingan Turki. Termasuk perubahan demografis dan sektarian yang luas di Suriah dengan mengosongkan wilayah dari penduduk Arab Sunni dan menggantikannya dengan komunitas Syiah dan Kurdi.

Iran juga melanggar perjanjian zona de-eskalasi yang ditandatangani pada 2017. Iran terus melakukan serangan terhadap wilayah yang dilindungi melalui kelompok bersenjata proksinya, serta bekerja sama dengan Rusia dan pasukan Assad.

Selain itu, Turki menuduh Iran mendukung Partai Pekerja Kurdistan (PKK). Pada Mei 2023, mantan Menteri Dalam Negeri Turki, Suleyman Soylu, mengungkapkan bahwa PKK telah memindahkan kamp utamanya dari Pegunungan Qandil di Irak Utara ke Maku, Iran, dekat perbatasan Turki.

“Meskipun Iran menyangkal keberadaan kamp tersebut, kami tahu apa yang ada di sana dan apa yang terjadi,” ujarnya.

Pada Mei 2024, Menteri Pertahanan Turki, Yasar Guler, kembali mengungkapkan ketidakpuasan Ankara.

“Pendekatan Iran tidak menyenangkan. Kami berbicara dengan mereka dan memberi informasi (tentang PKK), tetapi mereka menjawab: tidak ada apa-apa, tidak ada siapa-siapa,” ungkapnya.

Ia mengungkapkan bahwa pihaknya jelas merasa terganggu.

Setelah jatuhnya rezim Assad, Turki semakin bertekad untuk memastikan stabilitas di Suriah, terutama dalam menutup ancaman PKK secara permanen.

Ankara menyadari bahwa ketidakstabilan di Suriah dapat berdampak langsung pada keamanannya, sebagaimana terbukti selama 13 tahun terakhir.

Suriah, apakah terjadi kudeta?

Tak lama setelah pernyataan Fidan, pertempuran sengit pecah di wilayah pesisir Suriah akibat serangan besar-besaran oleh kelompok bersenjata. Serangan itu terkait dengan rezim lama dan didukung oleh kekuatan asing, menurut seorang pejabat pemerintah Suriah.

Serangan ini menargetkan pasukan keamanan, menyebabkan puluhan korban tewas, serta memungkinkan kelompok tersebut menguasai sebagian besar wilayah Tartus dan Latakia.

Namun, gerakan rakyat yang luas dan respons cepat dari pasukan keamanan Suriah berhasil menggagalkan upaya kudeta yang disebut-sebut didukung oleh Iran.

Yang menarik adalah respons cepat Turki dalam memberikan dukungan kepada pasukan Suriah untuk menghadapi pemberontakan ini.

Pesawat tempur Turki melancarkan serangan terhadap posisi SDF untuk mencegah mereka melakukan operasi bersamaan di Aleppo timur.

Selain itu, drone Turki menyerang YPG di lingkungan Sheikh Maqsoud dan Ashrafieh di Aleppo. Militer Turki juga mengirimkan bala bantuan besar untuk mendukung kemajuan pasukan Suriah menuju wilayah pesisir.

Persaingan Turki-Iran di Suriah

Iran masih merasakan dampak kekalahannya di Kaukasus, di mana Azerbaijan—dengan dukungan Turki—berhasil mengalahkan Armenia dan merebut kembali wilayah Nagorno-Karabakh pada 2020, serta mengamankan kendali penuh atasnya pada 2023.

Kemenangan ini memperkuat posisi strategis Turki di Kaukasus. Hal ini memungkinkan hubungan darat dengan Asia Tengah, serta mengurangi pengaruh tradisional Iran di kawasan tersebut.

Kini, dengan jatuhnya rezim Assad, Iran kembali mengalami kerugian strategis besar di hadapan Turki, yang kini lebih dominan di kawasan Suriah.

Sejak Revolusi Iran 1979, kerja sama antara Teheran dan rezim Ba’ath Suriah memberikan Iran keunggulan strategis terhadap Turki.

Suriah menjadi jalur Iran menuju Mediterania dan memungkinkan pembentukan basis pertahanan di Lebanon melalui Hizbullah.

Namun, dengan kehilangan Suriah, Iran kini menghadapi tekanan berat. Sementara itu, Turki terus memperkuat posisinya secara internasional, baik dalam keamanan Eropa maupun dalam mediasi antara Rusia dan Ukraina.

Iran juga menghadapi tantangan besar dengan ancaman intervensi militer oleh Presiden AS Donald Trump. Trump memperingatkan Teheran untuk mencapai kesepakatan atau menghadapi konsekuensi militer.

Dalam situasi ekonomi yang sulit akibat sanksi AS yang semakin ketat, Iran mungkin harus menerima kenyataan dan menghentikan intervensinya di Suriah demi menghindari konfrontasi langsung dengan Turki.

*Samir Al-‘Arki adalah seorang penulis dan peneliti dalam urusan Turki. Tulisan ini diambil dari situs Aljazeera.net dengan judul “Fīdān Yuhadzir Ṭehrān, Ma’rikah Turkyā wa Īrān Fī Sūriyyā”.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular